Minggu, 18 Maret 2018

MAKALAH AKHLAK TASAWUF "MAHABBAH"

MAHABBAH


Disusun Oleh :
Kelompok                  : 9 (Sembilan)
Nama  kelompok       :
1.    A. Bachniar                                (16 0201 0104)
2.    Mariska                                      (16 0201 0139)
3.    Varsella Aprillian Amrul          (16 0201 0145)
Kelas                           : PAI-D
Semester                     : III (Tiga)
Dosen                          : Sapruddin, S.Ag., M.Sos.I.

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALOPO

TAHUN AJARAN 2017/2018



KATA PENGANTAR


Segala puji bagi Allah swt. atas berkah dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan Makalah Akhlak Tasawuf yang berjudul Mahabbah.
Terselesaikannya Makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari beberapa pihak, sehingga pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1.         Guru Akhlak Tasawuf kami Bapak Sapruddin S.Ag., M.Sos.I. Karena atas kesempatan yang telah diberikan kepada kami dalam pembuatan dan penyelesaian makalah ini.
2.         Kedua Orang Tua kami, yang senantiasa mendukung, menuntun kami dalam hidup ini dengan doa yang tulus.
3.         Teman-teman mahasiswa/mahasiswi yang selalu memberi semangat dan motifasi untuk kami dalam penyelesaian Makalah ini.
Penulisan Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, informasi yang masih kurang, sistematika yang masih kurang baik, masih kurangnya pengetahuan kami tentang Materi. Sehingga pada kesempatan ini kami juga mengharapkan kritik serta saran dari teman-teman mahasiswa/mahasiswi dan para pembaca untuk penulisan Makalah yang lebih baik lagi kedepannya.
Semoga dengan adanya Makalah ini teman-teman mahasiswa/mahasiswi  serta pembaca bisa menambah pengetahuan dan semoga kedepannya kita bisa menyelesaikan penulisan karya-karya tulis lain dengan lebih baik lagi.

Palopo, 20 Oktober 2017
             

Penyusun



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah............................................................................ 1
B.        Rumusan Masalah..................................................................................... 2
C.        Tujuan Penulisan....................................................................................... 2

BAB II MAHABBAH
A.       Bagaimanakah Definisi Mahabbah.......................................................... 3
B.        Siapakah Tokoh Yang Mengembangkan Mahabbah............................... 8
C.        Bagaimanakah Alat Untuk Mencapai Mahabbah.................................... 11
D.       Bagaimanakah Mahabbah Dalam Al-Quran Dan Hadis.......................... 12
E.        Bagaimanakah Dasar Filosofi Mahabbah................................................ 15
F.         Bagaimanakah Jenis-Jenis Mahabbah...................................................... 20

BAB III PENUTUP
A.       Kesimpulan Penulisan............................................................................... 21
B.        Saran - Saran............................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 23

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Tasawuf adalah salah satu pilar Islam. Ia adalah ajaran dan amalan Rasulullah saw. Beserta para sahabatnya. Seungguhnya tanpa tasawuf  agama ini akan kehilangan ruhnya dan tidak ada bedanya dengan ideologi buatan manusia. Sepeninggal Rasulullah dan para sahabatnya, setelah Islam berkembang, ilmu-ilmu Islam pun mengalami perkembangan yang hebat. Jika tadinya hanya iman, Islam, dan Ihsan, maka mulai muncul ilmu-ilmu baru seperti ilmu tafsir, nahwu sharaf, musthalah hadits, ushul fiqih dan lain-lain. Umat Islam pun terdiri dari berbagai macam bangsa dengan berbagai bahasa. Untuk memudahkan dalam mempelajari Islam, para ulama Islam membagi ilmu-ilmu dengan memberinya istilah baru seperti aqidah untuk iman, fiqih untuk Islam, dan tasawuf untuk ikhsan.
Dalam mempelajari ilmu Islam dibolehkan secara terpisah, tetapi dalam mengamalkan wajib serentak antara iman, Islam, dan ikhsan. 
Tasawuf merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sebuah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan. Tasawuf sangat erat hubungannya dengan keadaan menjauhi hidup duniawi dan kesenangan material atau biasa disebut dengan istilah zuhud. Sedang orang yang mempunyai sifat zuhud disebut zahid. Setelah itu barulah barulah meningkat menjadi sufi.
Dalam perkembangan zuhud terdapat dua golongan zahid. Satu golongan zahid meninggalkan kehidupan dunia serta serta kesenangan material dan memusatkan perhatian pada ibadah karena didorong oleh perasaan takut akan masuk neraka di akhirat kelak. Tuhan dipandang sebagai suatu dzat yang ditakuti, dan perasaan takutlah yang menjadi pendorong mereka. Satu golongan lain didorong oleh perasaan cinta kepada Tuhan. Bagi mereka, Tuhan bukanlah dzat yang harus ditakuti dan dijauhi, namun harus dicintai dan didekati. Maka mereka meninggalkan kehidupan duniawi dan banyak beribadah karena ingin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Wacana mahabbah dalam dunia tasawuf dipopularkan oleh seorang wanita suci yang menjadi kekasih Allah (Waliyyullah), Rabiah al-Adawiyyah. Tampilnya Rabiah dalam sejarah tasawuf Islam, memberikan cinta tersendiri dalam menyetarakan gender pada dataran spiritual Islam.Bahkan dengan kemampuannya dalam menempuh perjuangan ‘melawan diri sendiri’ dan seterusnya tenggelam dalam ‘telaga cinta ilahi’, dinilai oleh kalangan sufi telah melampau seratus derajat orang-orang soleh dari kalangan laki-laki.
Rabi’ah al-Adawiyah, yang merupakan kalangan sufi dengan konsep pemikiran tasawufnya yaitu mahabbah illahiyah (kecintaan kepada Tuhan). Seorang wanita sufi dari Basrah yang terkenal dengan ibadah dan kedekatannya dengan Allah Swt dengan memasukkan konsep kecintaan terhadap Tuhan dalam dunia tasawuf.

B.       Rumusan Masalah
Di setiap penulisan Makalah tentu memiliki rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penulisan pada Makalah  ini adalah :
1.      Bagaimanakah definisi Mahabbah?
2.      Siapakah tokoh yang mengembangkan Mahabbah?
3.      Bagaimanakah alat untuk mencapai Mahabbah?
4.      Bagaimanakah Mahabbah dalam Al-Quran dan Hadis?
5.      Bagaimanakah dasar filosofi Mahabbah?
6.      Bagaimanakah jenis-jenis Mahabbah?

C.       Tujuan Penulisan
Disetiap penulisan Sebuah Makalah tentu memiliki tujuan penulisan, dan pada Makalah tujuan penulisan yaitu :
1.         Sebagai Syarat dalam menyelesaikan tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf.
2.         Memberikan Informasi kepada teman-teman dan para pembaca tentang beberapa hal yang terkait dengan Mahabbah.

BAB II
MAHABBAH


A.    Definisi Mahabbah
Mahabbah (cinta) menurut para ulama tasawuf berarti “kehendak”, yaitu kehendak-Nya untuk melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-Nya. Jadi, cinta (mahabbah) lebih khusus dari pada rahmat. Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk menyampaikan pahala dan nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat. Sedangkan kehendak-Nya untuk mengkhususkan kepada hamba, suatu kedekatan dan ihwal rohani yang luhur disebut sebagai mahabbah.
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam.[1]
Selain itu al-Mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja kepada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan di atas, tampaknya da juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhian pada Tuhan
Bagian terpenting dari tujuan sufi adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga dirasakan dan disadari berada di hadirat Tuhan. Keberadaan di hadirat Tuhan itu diyakini sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki.
Menurut istilah (terminologi), para ahli berbeda pendapat, namun intinya sama. Pendapat tersebut dihimpun sebagai berikut:
1.      Al-Ghazali
Mahabbah ialah cinta kepada Allah itu adalah maqom yang terakhir dan derajat yang paling tinggi dari segala maqom yang sesudahnya yaitu buahnya dari segala maqom yang sebelumnya. Ini merupakan pendahuluan untuk mencapai cinta kepada Allah.[2]
2.      Syekh Jalaluddin
Mahabbah ialah termasuk maqom yang sangat penting dalam tasawuf. Cinta tersebut merupakan suatu dorongan kesadaran melalui saluran syariat, bukan sejenis cinta yang melahirkan ucapan-ucapan syahwat yang sering berlawanan dengan pokok-pokok ajaran syariat. Rasa cinta inilah yang mengalahkan hawa nafsu sehingga merasa lezat mentaati semuaajaran syariat. Kasih kepada semua yang dikasihi Allah dan benci kepada semua yang dibenci Allah.[3]
3.      Al-Palimbani
Mahabbah ialah ma’rifah hakiki yang lahir dari cinta, tetapi cinta yang hakiki kepada Allah itu hanya lahir dari ma’rifah. Mahabbah dan ma’rifah itu adalah dua hal yang masing-masing merupakan sebab tetap juga akibat dari yang lain. Kasih pada Allah tatkala itu, membawa kepada ma’rifah. Ma’rifah Allah tatkal itu melazimkan sebanar-benar kasih Allah Ta’ala.
4.      Imam Qusyairi
Mahabbah ialah kondisi yang mulia telah disaksikan Allah swt. Melalui cintanya itu, bagi hamba telah memperma’lumkan cintanya kepada Allah. Karenanya Allah swt. disifati sebagai yang mencintai hamba dan sihamba disifati sebagai yang mencintai Allah swt.
Pengertian mahabbah dari segi tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan al-Qusyairi sebagai berikut:
اَلْمَحَبَّةُ حَالَةٌ شَرِيْفَةٌ شَهِدَاْلحَقَّ سُبْحَانَهُ بِهَالِلْعَبْدِ وَاَخْبَرَعَنْ مَحَبَّتِهِ لِلْعَبْدِ فَالْحَقُّ سُبْحَانَهُ يُوْصَفُ بِاَنَّهُ يُحِبُّ الْعَبْدَ وَالْعَبْدُ يُوْصَفُ بِاَنَّهُ يُحِبُّ الْحَقَّ سُبْحَا نَهُ
Al-Mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT, oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.[4]
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah. Mahabbah berbeda dengan al-raghbah, karena mahabbah adalah cinta yang tanpa dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al-raghbah cinta yang disertai perasaan rakus, keinginan yang kuat dan ingin mendapatkan sesuatu, walaupun harus mengorbankan segalanya.
5.      Harun Nasution
Mahabbah ialah cinta, yang dimaksudkan adalah cinta kepada Allah swt. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain yang berikut:
a.       Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya
b.      Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
c.       Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.[5]
6.      Al-Sarraj
Mahabbah mempunyai tiga tingkatan, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang arif.
a)      Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
b)      Mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan Selalu rindu pada-Nya.
c)      Mahabbah orang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah tahu betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.[6]
Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui zikir, dilanjutkan dengan leburmya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatukebal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah.
7.      Abu Ali Dadaq
Mahabbah ialah suatu sikap mulia yang dikaruniakan Allah kepada hamba yang dikehendakiNya. Allah memberitahukan bahwa Dia mencintai hambaNya dan hambaNya pun harus mencintaiNya.
8.      Ibnu Qasim
Mahabbah sesungguhnya sifat Allah dan segala kesempurnaan-Nya, hakekat asma alhusna yang menarik hati untuk mencintai-Nya untuk mendorong manusia mencapai Allah. Hati hanya mencintai yang sudah dikenal-Nya, ditakuti, diharapkan dan dirindukanNya. Ia merasa lapang karena dekat diri kepadaNya. Jadi karena kenal kepada sifat itulah manusia mencintai Allah. Manusia dapat mencapainya dengan kasyf dan limpahan karunia Allah swt.
9.      Abdullah Tusturi
Mahabbah ialah tanda cinta manusia kepada Allah dengan banyak menyebut nama yang dicintai dan yang demikian itu tidak akan tertanam dalam hati, melainkan sudah mencapai tingkat tasdiq dan tahkik, sehingga ia selalu bertaubat kepadaNya.[7]
Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai. Tujuannnya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu uraian di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah merupakan hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal bertalian dengan maqam, karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi terdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
Sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa al-Mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam kedudukannya maupun dalam pengertiannya. Jika Ma’rifah adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (roh). Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Allah. Rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah kepada Tuhan.[8]

B.     Tokoh Yang Mengembangkan Mahabbah
Aliran mahabbah di pelopori dan di kembangkan oleh seorang sufi wanita yang bernama Rabi’ah Al-‘Adawiah. Rabi’ah al-adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari bashrah, di irak. Ia lahir di basrah pada tahun 714 M. Kelahirannya di liputi bermacam cerita aneh-aneh. Pada malam ketika ia lahir, di rumahnya tidak ada apa-apa, bahkan minyak untuk menyalakan lampupun tidak ada, juga tidak di temui sepotong gombal pun untuk membungkus bayi yang baru di lahirkan itu. Ibunya meminta ayah rabiah supaya pinjam saja minyak  dari tetangga. Ini merupakan suatu cobaan bagi si ayah yang malang.  Ayah ini telah berjanji kepada allah untuk tidak mengulurkan tangannya meminta tolong kepada sesamanya. Namun begitu, ia pergi juga kepada tetangganya, mengetuk pintu, tetapi tidak mendapat  jawaban. Ia merasa lega dan mengucap syukur kepada tuhan, karena tidak perlu ingkar  janji lalu Ia pulang dan tidur. Malam itu ia bermimpi, nabi muhammad memberikan tanda kepadanya dengan mengatakan bahwa anaknya yang baru lahir itu telah ditakdirkan menduduki tempat spiritual yang tinggi.
Robiah kehilangan kedua orang tuanya waktu ia masih kecil. Ketiga orang kakaknya perempuan juga mati ketika wabah kelaparan melanda basra. Ia sendiri jatuh ke tangan yang kejam, dan orang ini menjualnya sebagai budak belia dengan harga yang tidak seberapa. Majikannya yang baru juga tidak kurang bengisnya.
Si kecil Rabiah menghabiskan waktunya dengan melaksanakan segala perintah  majikannya. Malam hari di laluinya dengan berdoa. Pada suatu malam, majikannya melihat tanda kebesaran rohani Rabiah, ketika Rabiah berdoa kepada allah “ya rabbi, engkau telah membuatku menjadi budak belian seorang manusia sehingga aku terpaksa mengabdi kepadanya. Seandainya aku bebas, pasti aku persembahkan seluruh waktu dalam hidupku ini untuk berdoa kepadamu Tiba-tiba tampak cahaya di dekat kepalanya, dan melihat itu majikannya menjadi sangat ketakutan. Esok harinya Rabiah dibebeskan.
Setelah bebas, Rabiah pergi ketempat-tempat yang sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk dekat basrah. Di sini ia hidup seperti bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, sebuah batu bata dan semua itulah yang merupakn keseluruhan harta yang ia punyai. Ia sepenuhnya mengabdikan diri untuk berdoa, dan tidur sekejap saja sebelum dini hari meskipun hal ini sangat ia sayangkan.
Ia menerima sebuah pinangan untuk sebuah perkawinan yang baik. Diantaranya datang dari gubernur basra, juga dari seorang cuci-mistis yang terkenal hasan basri. Tetapi rabi’ah terlalu sibuk mengabdikan dirinya kepada Allah, hingga sisa waktunya sedikit  sekali untuk urusan duniawi. Karena itulah semua pinangan ditolaknya.
Rabi’ah punya banyak murid yang keras, termasuk malik bin dinar, raba al-rais, syakh al balkhi, dan hasan basra. Mereka sering mengunjungi rabi’ah untuk mendapatkan nasihat atau do’a, atau untuk mendengarkan ajarannya. Pada suatu hari, subyan suri, seorang yang saleh dan dihormati datang pada rabi’ah, mengangkat kedua belah tangannya dan berdo’a: “tuhan yang maha kuasa, saya memohon harta duniawi dari-Mu”. Menagis, ia menjawab, “harta yang sesungguhnya itu hanya didapat setelah menanggalkan segala yang bersifat duniawi ini, dan aku melihat anda hanya mencarinya didunia ini saja”.
 Terbetik cerita, ada orang yang mengirim uang empat puluh dinar kepada rabi’ah. Ia menagis dan mengangkat tangannya keatas, “Engkau tahu, Ya Allah, aku tak pernah meminta harta dunia dari-Mu, merskipun kau-lah pencipta dunia ini. Lantas, bagaimana aku dapat menerima yang dari seseorang, sedangkan uang itu sesungguhnya bukan kepunyaannya?”.[9]
Ia melarang murid-muridnya untuk menunjukan perbuatan baik mereka kepada siapapun. Mereka malahan diharuskan menutupi perbuatan baik itu, seperti menutup-nutupi perbuatan jahat mereka.
Cinta rabi’ah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada tuhan, terlihat dari ungkapan do’a-do’a yang disampikannya. Ia misalnya berdo’a “ Ya Tuhanku, bila aku menyembah-Mu lantaran takut kepada neraka, maka bakarlah diriku dalam neraka; dan bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka jauhkanlah aku dari surga; namun jika aku menyembah-Mu hanya demi engkau, maka janganlah engkau tutup keindahan abadi-Mu.
Kecintaan rabi’ah pada tuhan terlihat dari syairnya berikut ini:
Aku mencintaimu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir hingga engkau kulihat
Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mulah pujian untuk kesemuanya.
Dalam syairnya yang lain ia mengatakan’
Kucintai engkau lantaran aku cinta,   
Dan lantaran kamu patut dicintai,
Cintakulah yang membuat rindu kepada-Mu
Demi cinta suci ini, sibakkanlah tabir penutup tatapan sembahku
Janganlah kau puji aku lantaran itu
Bagi-Mulah segala puji dan puji.
Atas syair-syair tersebut, al-Ghazali mengatakan: “Barangkali yang ia maksud dengan cinta kerinduan itu ialah cinta kepada Tuhan, karena kasih sayang, rahmat dan iradah Allah telah sampai kepadanya”. Karena Allah telah menganugrahkan roh, sehingga ia dapat menyebut dan dekat dengan-Nya.
Syair-syair tersebut ia ucapkan pada saat telah datang keheningan malam dengan gemerlapnya bintang, tertutupnya pintu-pintu istana raja dan orang-orang telah terbuai dalam tidurnya. Waktu malam sengaja dipilih karena pada waktu itulah roh dan daya rasa yang ada dalam diri manusia tambah meningkat dan tajam, tak ubahnya seorang yang bercinta yang selalu mengharapkan waktu-waktu malam untuk selalu bersamaan.
Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi”.
            Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.[10]
C.    Alat Untuk Mencapai Mahabbah
Dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb/hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahi sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sir yaitu alat untuk melihat Tuhan. Sir lebih halus dari pada roh, dan roh lebih halus dari pada qalb. Sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qalb, dan sir timbul dan dapat iluminasi dari Allah, kalau qalb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan sekosong-kosongnya, tidak berisi apapun.
Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.[11]
Roh yang digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugrahkan Tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan. Dengan demikian alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak tahu sebenarnya hakikat roh itu. Yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman:
štRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ̍øBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ  
Artinya: “dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".” (QS. Al-Isra’: 85)
Selanjutnya di dalam hadis pun diinformasikan bahwa manusia itu diberikan roh olrh Tuhan, pada saat manusia berusia empat bulan di dalam kandungan. Hadis tersebut berbunyi:
“sesungguhnya manusia dilakukan penciptaannya dalam kandungan ibunya, selama empat puluh hari dalam bentuk nutfah (segumpah darah), kemudian menjadi alaqah (segumpul daging yang menempel) pada waktu yang juga 40 hari, kemudian dijadikan mudghah (segumpal daging yang telah berbentuk) pada yang juga empat puluh hari, kemudian Allah mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepadanya. (HR. Bukhari-Muslim)
Dari kedua dalil diatas selain menginformasikan bahwa manusia dianugrahi roh oleh Tuhan, juga menunjukan bahwa roh itu pada dasarnya memiliki watak tunduk dan patuh pada Tuhan. Roh, yang wataknya demikian itulah yang digunakan para sufi untuk mencintai Tuhan.
           
D.    Mahabbah Dalam Al-Qur’an Dan Hadis
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW.  Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis. Banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan Tuhan dapat saling bercinta. Misalnya ayat yang berbunyi:
a.       Ali Imran ayat 30-31
tPöqtƒ ßÉfs? @à2 <§øÿtR $¨B ôMn=ÏJtã ô`ÏB 9Žöyz #\ŸÒøtC $tBur ôMn=ÏJtã `ÏB &äþqß Šuqs? öqs9 ¨br& $ygoY÷t/ ÿ¼çmuZ÷t/ur #JtBr& #YÏèt/ 3 ãNà2âÉjyÛãƒur ª!$# ¼çm|¡øÿtR 3 ª!$#ur 8$râäu ÏŠ$t7Ïèø9$$Î/ ÇÌÉÈ  
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq7Åsè? ©!$# ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÊÈ  
30. Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.
31. Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
b.     Al-Maidah ayat 54
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £s?ötƒ öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ t$öq|¡sù ÎAù'tƒ ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk:Ïtä ÿ¼çmtRq6Ïtäur A'©!ÏŒr& n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# >o¨Ïãr& n?tã tûï͍Ïÿ»s3ø9$# šcrßÎg»pgä Îû È@Î6y «!$# Ÿwur tbqèù$sƒs sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºsŒ ã@ôÒsù «!$# ÏmŠÏ?÷sム`tB âä!$t±o 4 ª!$#ur ììźur íOŠÎ=tæ ÇÎÍÈ  
Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.
c.       QS. Al-Baqarah ayat 165
šÆÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB äÏ­Gtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# #YŠ#yRr& öNåktXq6Ïtä Éb=ßsx. «!$# ( tûïÉ©9$#ur (#þqãZtB#uä x©r& ${6ãm °! 3 öqs9ur ttƒ tûïÏ%©!$# (#þqãKn=sß øŒÎ) tb÷rttƒ z>#xyèø9$# ¨br& no§qà)ø9$# ¬! $YèÏJy_ ¨br&ur ©!$# ߃Ïx© É>#xyèø9$# ÇÊÏÎÈ  
165. Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu[106] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
[106] Yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.
Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:
لاَيُؤْمِنُأَحَدُكُمْحَتَّىأَكُونَأَحَبَّإِلَيْهِمِنْوَلَدِهِوَوَالِدِهِوَالنَّاسِأَجْمَعِين
Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.
وَلَا يَزَالُ عَبْدِ ى يَتَقَرَّبُ إِ لَيَّ بِا لنَّوَا فِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمْعًا وَ بَصَرًا وَيَدًا
Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang Kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku.

Kedua ayat dan satu hadis tersebut diatas memberitakan petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan dapat saling mencintai, karena alat untuk mencintai Tuhan, yaitu roh adalah berasal dari roh Tuhan. Roh Tuhan dan roh yang ada pada manusia sebagai anugerah Tuhan bersatu dan terjadilah mahabbah. Ayat dan hadis tersebut juga menjelaskan bahwa pada saat terjadi mahabbah diri yang dicintai telah menyatu dengan yang mencintai yang digambarkan dalam telinga, mata dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapai keadaan tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.

E.     Dasar Filosofi Mahabbah
Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus.[12] Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut: 
a.      Cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.
b.      Cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud. 
c.       Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya cinta.  Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu adalah sebagai berikut:


a)      Cinta kepada diri sendiri, kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam ia mengenal  Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.[13]
b)     Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul mandiri, karena masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah, maka cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan yang tak terhitung jumlahnya.
c)      Mencintai diri orang yang berbuat baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai kebaikan juga merupakan watak dasar manusia. Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan korupsi sang pejabat.[14]
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap Allah. Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta ini. Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak langsung dirasakan seorang Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.
d)     Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah tentu disukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya, dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak. Keindahan yang terakhir inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang bersifat batiniah inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih kekal.[15]
Pada gilirannya, segala keindahan itu pun akan berujung pada keindahan Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan adalah keindahan rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin. Orang yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha Kuasa, dan segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia pun akan menyadari betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk dicintai.
e)      Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar karena memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada Tuhan akan muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah. Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka. Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia, misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah dengan sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul mengalami cinta ilahiah.

F.     Jenis-Jenis Mahabbah (Cinta)
Cinta ada empat jenis, yaitu :
1.      Cinta kepada Allah, yaitu cinta yang merupakan dasar iman dan tauhid.
2.      Cinta karena Allah, yaitu mencintai nabi-nabi, rasul-rasul dan hamba-hamba-Nya yang sholeh serta mencintai apa yang dicintai Allah berupa amalan, waktu, tempat dan sebagainya, cinta ini mengikuti dan menyempurnakan kecintaan kepada Allah.
3.      Cinta bersama Allah, yaitu kecintaan orang-orang musyrik terhadap tuhan-tuhan dan sembahan-sembahan mereka seperti pohon, batu, manusia dan lain-lain yang merupakan asal dan dasar syirik.
4.      Cinta naluri, terbagi atas tiga macam:
ü  Cinta penghormatan dan penghargaan, seperti kecintaan kepada orang tua.
ü  Cinta kasih sayang dan rahmat, seperti kecintaan kepada anak.
ü  Cinta yang memiliki oleh semua orang.[16]







BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan Penulisan
1.      Mahabbah (cinta) menurut para ulama tasawuf berarti “kehendak”, yaitu kehendak-Nya untuk melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-Nya.
2.      Aliran mahabbah di pelopori dan di kembangkan oleh seorang sufi wanita yang bernama Rabi’ah Al-‘Adawiah. Rabi’ah al-adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari bashrah, di irak.
3.      Dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb/hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahi sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sir yaitu alat untuk melihat Tuhan.
4.      Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW.  Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis. Dalam Al-Quran mahabbah terdapat pada Ali Imran ayat 30-31, Al Maidah ayat 54, Al Baqarah ayat 165.
5.      Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu cinta terwujud dengan proses Ma’arifat dan Idrak, cinta terwujud dengan tingkat Ma’arifat dan Idrak, manusia mencintai dirinya.
6.      Jenis-jenis mahabbah yaitu cinta kepada Allah, cinta karena Allah, cinta bersama Allah, cinta naluri.


B.     Saran – Saran
1.      Diharapkan kepada teman-teman sejawat untuk biasa memahami secara mendalam lagi tentang materi yang disampaikan dan diharapkan untuk mempertanyakan hal-hal yang belum dimengerti agar kedepannya tidak salah lagi.
2.      Diharapkan kepada teman-teman Mahasiswa/Mahasiswi agar berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengamalkan perbuatan-perbuatan yang berakhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Karena dengan Akhlak yang baik bukan hanya akan berpengaruh pada diri pribadi melainkan juga pada orang lain.
3.      Diharapkan kepada teman-teman Mahasiswa/Mahasiswi agar senantiasa berusaha untuk sampai ke titik Mahabbah ini sebab dititik inilah rasa Cinta kita kepada Khalik sang pencipta bisa terealisasikam secara utuh dan murni

















DAFTAR PUSTAKA

Hadibesc. 2013. “Rabiah Al-Adawiyah”. Dikutip dari https://hadibesc.blogspot.co.id/2013/06/rabiah-al-adawiyah-a.html. Pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.10.
May, Asmal. 2001. Corak Tasawuf Syekh Jalaluddin Cetakan 1. Pekanbaru: Susqa Press
Nasution, Harun. 1983. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam Cetakan III. Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, Harun. 1973. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, Abuddin. 2011. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Quzwen, Chatib. 1985. Mengenal Allah Cetakan 25. Jakarta: Bulan Bintang.
Racheedus. 2015. “Konsep Mahabbah Dalam Tasawuf”. Dikutip dari https://racheedus.wordpress.com/makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/. Pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.30.
Siti Masitoh. 2014. “Mahabbah”. Dikutip dari http://itohkhalifah.blogspot.co.id/2014/10/makalah-tentang-mahabbah.html. Pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.17.
Yesti Jasmine. 2014. “Mahabbah Menurut Konsep Tasawuf”. Dikutip dari http://yestijasmine.blogspot.co.id/2014/01/mahabbah-menurut-konsep-tasawuf.html. Pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.00.
Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Hidakarya.






[1]Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1990), hlm.96.
[2]Chatib Quzwen, Mengenal Allah Cetakan 25, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm. 99.
[3]Asmal May, Corak Tasawuf Syekh Jalaluddin Cetakan 1, (Pekanbaru: Susqa Press, 2001) hlm. 160.

[4]Yesti Jasmine, “Mahabbah Menurut Konsep Tasawuf”, Dikutip dari http://yestijasmine.blogspot.co.id/2014/01/mahabbah-menurut-konsep-tasawuf.html, pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.00.
[5]Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam Cetakan III, (Jakarta: Bulan Bintang,1983), hlm.70.
[6]Ibid, hlm. 71
[7]Yesti Jasmine, “Mahabbah Menurut Konsep Tasawuf”, Dikutip dari http://yestijasmine.blogspot.co.id/2014/01/mahabbah-menurut-konsep-tasawuf.html, pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.00
[8]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 207.
[9]Hadibesc, “Rabiah Al-Adawiyah”, Dikutip dari https://hadibesc.blogspot.co.id/2013/06/rabiah-al-adawiyah-a.html, pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.10.
[10]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 74.
[11]Hadibesc, “Rabiah Al-Adawiyah”, Dikutip dari https://hadibesc.blogspot.co.id/2013/06/rabiah-al-adawiyah-a.html, pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.10.
[12]Racheedus, “Konsep Mahabbah Dalam Tasawuf”, Dikutip dari https://racheedus.wordpress.com/makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/, pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.30.
[13]Racheedus, “Konsep Mahabbah Dalam Tasawuf”, Dikutip dari https://racheedus.wordpress.com/makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/, pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.30.
[14]Racheedus, “Konsep Mahabbah Dalam Tasawuf”, Dikutip dari https://racheedus.wordpress.com/makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/, pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.30.
[15]Racheedus, “Konsep Mahabbah Dalam Tasawuf”, Dikutip dari https://racheedus.wordpress.com/makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/, pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.30.
[16]Siti Masitoh, “Mahabbah”, Dikutip dari http://itohkhalifah.blogspot.co.id/2014/10/makalah-tentang-mahabbah.html, pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Tauhid "MACAM-MACAM TAUHID MELIPUTI ULUHIYYAH, RUBUBIYAH DAN ASMA WA SIFAT"

TUGAS TAUHID MACAM-MACAM TAUHID MELIPUTI ULUHIYYAH, RUBUBIYAH DAN ASMA WA SIFAT Di susun oleh : KELOMPOK                        :...