MAHABBAH
Disusun
Oleh :
Kelompok
: 9 (Sembilan)
Nama kelompok :
1.
A.
Bachniar (16
0201 0104)
2.
Mariska (16 0201
0139)
3.
Varsella Aprillian Amrul (16 0201 0145)
Kelas : PAI-D
Semester
:
III
(Tiga)
Dosen : Sapruddin, S.Ag., M.Sos.I.
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALOPO
TAHUN
AJARAN 2017/2018
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah swt. atas berkah
dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan penulisan Makalah Akhlak Tasawuf yang berjudul Mahabbah.
Terselesaikannya
Makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari beberapa pihak, sehingga
pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Guru Akhlak Tasawuf kami Bapak Sapruddin
S.Ag., M.Sos.I. Karena atas kesempatan yang telah diberikan kepada kami dalam pembuatan
dan penyelesaian makalah ini.
2.
Kedua
Orang Tua kami, yang senantiasa mendukung, menuntun kami dalam hidup ini dengan
doa yang tulus.
3.
Teman-teman
mahasiswa/mahasiswi yang selalu memberi semangat dan motifasi untuk kami dalam
penyelesaian Makalah ini.
Penulisan
Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, informasi yang masih kurang, sistematika yang masih kurang baik, masih kurangnya
pengetahuan kami tentang Materi. Sehingga pada kesempatan ini kami juga
mengharapkan kritik serta saran dari teman-teman mahasiswa/mahasiswi dan para
pembaca untuk penulisan Makalah yang lebih baik lagi kedepannya.
Semoga
dengan adanya Makalah ini teman-teman mahasiswa/mahasiswi serta pembaca bisa menambah pengetahuan dan
semoga kedepannya kita bisa menyelesaikan penulisan karya-karya tulis lain
dengan lebih baik lagi.
Palopo, 20 Oktober 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah............................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah..................................................................................... 2
C.
Tujuan Penulisan....................................................................................... 2
BAB II MAHABBAH
A.
Bagaimanakah Definisi
Mahabbah.......................................................... 3
B.
Siapakah Tokoh
Yang Mengembangkan Mahabbah............................... 8
C.
Bagaimanakah Alat
Untuk Mencapai Mahabbah.................................... 11
D.
Bagaimanakah
Mahabbah Dalam Al-Quran Dan Hadis.......................... 12
E.
Bagaimanakah Dasar
Filosofi Mahabbah................................................ 15
F.
Bagaimanakah Jenis-Jenis
Mahabbah...................................................... 20
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan Penulisan............................................................................... 21
B.
Saran - Saran............................................................................................. 22
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................... 23
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Tasawuf adalah salah satu pilar Islam. Ia adalah ajaran dan
amalan Rasulullah saw. Beserta para sahabatnya. Seungguhnya tanpa tasawuf
agama ini akan kehilangan ruhnya dan tidak ada bedanya dengan ideologi buatan
manusia. Sepeninggal Rasulullah dan para sahabatnya, setelah Islam berkembang,
ilmu-ilmu Islam pun mengalami perkembangan yang hebat. Jika tadinya hanya iman,
Islam, dan Ihsan, maka mulai muncul ilmu-ilmu baru seperti ilmu tafsir, nahwu
sharaf, musthalah hadits, ushul fiqih dan lain-lain. Umat Islam pun terdiri
dari berbagai macam bangsa dengan berbagai bahasa. Untuk memudahkan dalam
mempelajari Islam, para ulama Islam membagi ilmu-ilmu dengan memberinya istilah
baru seperti aqidah untuk iman, fiqih untuk Islam, dan tasawuf untuk ikhsan.
Dalam mempelajari ilmu Islam dibolehkan secara terpisah,
tetapi dalam mengamalkan wajib serentak antara iman, Islam, dan ikhsan.
Tasawuf merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sebuah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan. Tasawuf sangat erat hubungannya dengan keadaan menjauhi hidup duniawi dan kesenangan material atau biasa disebut dengan istilah zuhud. Sedang orang yang mempunyai sifat zuhud disebut zahid. Setelah itu barulah barulah meningkat menjadi sufi.
Tasawuf merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sebuah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan. Tasawuf sangat erat hubungannya dengan keadaan menjauhi hidup duniawi dan kesenangan material atau biasa disebut dengan istilah zuhud. Sedang orang yang mempunyai sifat zuhud disebut zahid. Setelah itu barulah barulah meningkat menjadi sufi.
Dalam perkembangan zuhud terdapat dua golongan zahid. Satu
golongan zahid meninggalkan kehidupan dunia serta serta kesenangan material dan
memusatkan perhatian pada ibadah karena didorong oleh perasaan takut akan masuk
neraka di akhirat kelak. Tuhan dipandang sebagai suatu dzat yang ditakuti, dan
perasaan takutlah yang menjadi pendorong mereka. Satu golongan lain didorong
oleh perasaan cinta kepada Tuhan. Bagi mereka, Tuhan bukanlah dzat yang harus
ditakuti dan dijauhi, namun harus dicintai dan didekati. Maka mereka
meninggalkan kehidupan duniawi dan banyak beribadah karena ingin mendekatkan
diri kepada Tuhan.
Wacana mahabbah dalam dunia tasawuf dipopularkan oleh
seorang wanita suci yang menjadi kekasih Allah (Waliyyullah), Rabiah
al-Adawiyyah. Tampilnya Rabiah dalam sejarah tasawuf Islam, memberikan cinta
tersendiri dalam menyetarakan gender pada dataran spiritual Islam.Bahkan dengan
kemampuannya dalam menempuh perjuangan ‘melawan diri sendiri’ dan seterusnya
tenggelam dalam ‘telaga cinta ilahi’, dinilai oleh kalangan sufi telah melampau
seratus derajat orang-orang soleh dari kalangan
laki-laki.
Rabi’ah al-Adawiyah, yang merupakan kalangan sufi dengan konsep
pemikiran tasawufnya yaitu mahabbah illahiyah (kecintaan kepada Tuhan). Seorang
wanita sufi dari Basrah yang terkenal dengan ibadah dan kedekatannya dengan
Allah Swt dengan memasukkan konsep kecintaan terhadap Tuhan dalam dunia
tasawuf.
B. Rumusan
Masalah
Di setiap penulisan Makalah tentu memiliki
rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penulisan pada Makalah ini adalah :
1.
Bagaimanakah
definisi Mahabbah?
2.
Siapakah tokoh
yang mengembangkan Mahabbah?
3.
Bagaimanakah
alat untuk mencapai Mahabbah?
4.
Bagaimanakah
Mahabbah dalam Al-Quran dan Hadis?
5.
Bagaimanakah
dasar filosofi Mahabbah?
6.
Bagaimanakah
jenis-jenis Mahabbah?
C.
Tujuan Penulisan
Disetiap penulisan Sebuah Makalah tentu
memiliki tujuan penulisan, dan pada Makalah tujuan penulisan yaitu :
1.
Sebagai Syarat dalam menyelesaikan tugas
mata kuliah Akhlak Tasawuf.
2.
Memberikan Informasi kepada teman-teman dan para pembaca tentang
beberapa hal yang terkait dengan Mahabbah.
BAB II
MAHABBAH
A.
Definisi Mahabbah
Mahabbah (cinta)
menurut para ulama tasawuf berarti “kehendak”, yaitu kehendak-Nya untuk
melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana kasih sayang-Nya
bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-Nya. Jadi, cinta
(mahabbah) lebih khusus dari pada rahmat. Kehendak Allah swt. dimaksudkan untuk
menyampaikan pahala dan nikmat kepada si hamba. Dan inilah yang disebut rahmat.
Sedangkan kehendak-Nya untuk mengkhususkan kepada hamba, suatu kedekatan dan ihwal
rohani yang luhur disebut sebagai mahabbah.
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu,
mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau
kecintaan atau cinta yang mendalam.[1]
Selain itu al-Mahabbah dapat pula
berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk
memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya
seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya,
seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang
pekerja kepada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula
berarti suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat
rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran Yang Mutlak, yaitu cinta kepada
Tuhan.
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan
untuk menunjukkan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan
ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Dari sekian banyak arti
mahabbah yang dikemukakan di atas, tampaknya da juga yang cocok dengan arti
mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan
yang mendalam secara ruhian pada Tuhan
Bagian terpenting
dari tujuan sufi adalah memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga
dirasakan dan disadari berada di hadirat Tuhan. Keberadaan di hadirat Tuhan itu
diyakini sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki.
Menurut istilah (terminologi), para ahli
berbeda pendapat, namun intinya sama. Pendapat tersebut dihimpun sebagai
berikut:
1.
Al-Ghazali
Mahabbah ialah cinta kepada Allah itu
adalah maqom yang terakhir dan derajat yang paling tinggi dari segala maqom
yang sesudahnya yaitu buahnya dari segala maqom yang sebelumnya. Ini
merupakan pendahuluan untuk mencapai cinta kepada Allah.[2]
2.
Syekh Jalaluddin
Mahabbah ialah termasuk maqom yang sangat
penting dalam tasawuf. Cinta tersebut merupakan suatu dorongan kesadaran
melalui saluran syariat, bukan sejenis cinta yang melahirkan ucapan-ucapan
syahwat yang sering berlawanan dengan pokok-pokok ajaran syariat. Rasa cinta
inilah yang mengalahkan hawa nafsu sehingga merasa lezat mentaati semuaajaran
syariat. Kasih kepada semua yang dikasihi Allah dan benci kepada semua yang
dibenci Allah.[3]
3.
Al-Palimbani
Mahabbah ialah ma’rifah hakiki yang lahir
dari cinta, tetapi cinta yang hakiki kepada Allah itu hanya lahir dari
ma’rifah. Mahabbah dan ma’rifah itu adalah dua hal yang masing-masing merupakan
sebab tetap juga akibat dari yang lain. Kasih pada Allah tatkala itu, membawa
kepada ma’rifah. Ma’rifah Allah tatkal itu melazimkan sebanar-benar kasih Allah
Ta’ala.
4.
Imam Qusyairi
Mahabbah ialah kondisi yang mulia telah
disaksikan Allah swt. Melalui cintanya itu, bagi hamba telah memperma’lumkan
cintanya kepada Allah. Karenanya Allah swt. disifati sebagai yang mencintai
hamba dan sihamba disifati sebagai yang mencintai Allah swt.
Pengertian mahabbah dari segi tasawuf ini lebih
lanjut dikemukakan al-Qusyairi sebagai berikut:
اَلْمَحَبَّةُ حَالَةٌ شَرِيْفَةٌ
شَهِدَاْلحَقَّ سُبْحَانَهُ بِهَالِلْعَبْدِ وَاَخْبَرَعَنْ مَحَبَّتِهِ
لِلْعَبْدِ فَالْحَقُّ سُبْحَانَهُ يُوْصَفُ بِاَنَّهُ يُحِبُّ الْعَبْدَ
وَالْعَبْدُ يُوْصَفُ بِاَنَّهُ يُحِبُّ الْحَقَّ سُبْحَا نَهُ
Al-Mahabbah adalah merupakan hal (keadaan) jiwa
yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Allah SWT, oleh
hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang
dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.[4]
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang
mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah
Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang
melimpah. Mahabbah berbeda dengan al-raghbah, karena mahabbah adalah
cinta yang tanpa dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi,
sedangkan al-raghbah cinta yang disertai perasaan rakus, keinginan yang kuat
dan ingin mendapatkan sesuatu, walaupun harus mengorbankan segalanya.
5. Harun Nasution
Mahabbah ialah cinta, yang dimaksudkan adalah
cinta kepada Allah swt. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang
diberikan kepada mahabbah antara lain yang berikut:
a. Memeluk
kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya
b. Menyerahkan seluruh
diri kepada yang dikasihi.
c. Mengosongkan
hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.[5]
6. Al-Sarraj
Mahabbah
mempunyai tiga tingkatan, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq dan
mahabbah orang yang arif.
a) Mahabbah orang
biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut
nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.
Senantiasa memuji Tuhan.
b) Mahabbah orang
shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada
kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan
tabir yang memisahkan diri seorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat
rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh
kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup
menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan
perasaan cinta pada Tuhan dan Selalu rindu pada-Nya.
c)
Mahabbah orang arif adalah cinta orang yang
tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah tahu betul pada
Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai.
Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.[6]
Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak
menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan
dengan menyebut-Nya melalui zikir, dilanjutkan dengan leburmya diri (fana)
pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatukebal (baqa) dalam sifat
Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin
dituju oleh mahabbah.
7. Abu Ali Dadaq
Mahabbah ialah
suatu sikap mulia yang dikaruniakan Allah kepada hamba yang dikehendakiNya.
Allah memberitahukan bahwa Dia mencintai hambaNya dan hambaNya pun harus
mencintaiNya.
8. Ibnu Qasim
Mahabbah
sesungguhnya sifat Allah dan segala kesempurnaan-Nya, hakekat asma alhusna yang
menarik hati untuk mencintai-Nya untuk mendorong manusia mencapai Allah. Hati
hanya mencintai yang sudah dikenal-Nya, ditakuti, diharapkan dan dirindukanNya.
Ia merasa lapang karena dekat diri kepadaNya. Jadi karena kenal kepada sifat
itulah manusia mencintai Allah. Manusia dapat mencapainya dengan kasyf dan
limpahan karunia Allah swt.
9. Abdullah
Tusturi
Mahabbah ialah tanda cinta manusia kepada Allah
dengan banyak menyebut nama yang dicintai dan yang demikian itu tidak akan
tertanam dalam hati, melainkan sudah mencapai tingkat tasdiq dan tahkik,
sehingga ia selalu bertaubat kepadaNya.[7]
Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh
pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh
hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang
dicintai. Tujuannnya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit
dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu
uraian di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah merupakan hal
yaitu keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut
dan sebagainya. Hal bertalian dengan maqam, karena hal bukan diperoleh atas
usaha manusia, tetapi terdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan
berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi,
datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
Sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan
bahwa al-Mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan
dengan ma’rifah, baik dalam kedudukannya maupun dalam pengertiannya. Jika Ma’rifah adalah
merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qalb),
maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (roh).
Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Allah. Rasa cinta itu
tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas dan
mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang
dicintai. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, mahabbah itu manifestasi dari
ma’rifah kepada Tuhan.[8]
B. Tokoh Yang
Mengembangkan Mahabbah
Aliran mahabbah di pelopori dan di kembangkan oleh seorang
sufi wanita yang bernama Rabi’ah Al-‘Adawiah. Rabi’ah al-adawiyah adalah
seorang zahid perempuan yang amat besar dari bashrah, di irak. Ia lahir di
basrah pada tahun 714 M. Kelahirannya di liputi bermacam cerita aneh-aneh. Pada
malam ketika ia lahir, di rumahnya tidak ada apa-apa, bahkan minyak untuk
menyalakan lampupun tidak ada, juga tidak di temui sepotong gombal pun untuk
membungkus bayi yang baru di lahirkan itu. Ibunya meminta ayah rabiah supaya
pinjam saja minyak dari tetangga. Ini
merupakan suatu cobaan bagi si ayah yang malang. Ayah ini telah berjanji kepada allah untuk
tidak mengulurkan tangannya meminta tolong kepada sesamanya. Namun begitu, ia
pergi juga kepada tetangganya, mengetuk pintu, tetapi tidak mendapat jawaban. Ia merasa lega dan mengucap syukur
kepada tuhan, karena tidak perlu ingkar
janji lalu Ia pulang dan tidur. Malam itu ia bermimpi, nabi muhammad
memberikan tanda kepadanya dengan mengatakan bahwa anaknya yang baru lahir itu
telah ditakdirkan menduduki tempat spiritual yang tinggi.
Robiah kehilangan kedua orang tuanya waktu ia masih kecil.
Ketiga orang kakaknya perempuan juga mati ketika wabah kelaparan melanda basra.
Ia sendiri jatuh ke tangan yang kejam, dan orang ini menjualnya sebagai budak
belia dengan harga yang tidak seberapa. Majikannya yang baru juga tidak kurang
bengisnya.
Si kecil Rabiah menghabiskan waktunya dengan melaksanakan
segala perintah majikannya. Malam hari
di laluinya dengan berdoa. Pada suatu malam, majikannya melihat tanda kebesaran
rohani Rabiah, ketika Rabiah berdoa kepada allah “ya rabbi, engkau telah
membuatku menjadi budak belian seorang manusia sehingga aku terpaksa mengabdi
kepadanya. Seandainya aku bebas, pasti aku persembahkan seluruh waktu dalam
hidupku ini untuk berdoa kepadamu Tiba-tiba tampak cahaya di dekat
kepalanya, dan melihat itu majikannya menjadi sangat ketakutan. Esok harinya
Rabiah dibebeskan.
Setelah bebas, Rabiah pergi ketempat-tempat yang sunyi untuk
menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk
dekat basrah. Di sini ia hidup seperti bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah
kendil dari tanah, sebuah batu bata dan semua itulah yang merupakn keseluruhan
harta yang ia punyai. Ia sepenuhnya mengabdikan diri untuk berdoa, dan tidur
sekejap saja sebelum dini hari meskipun hal ini sangat ia sayangkan.
Ia menerima sebuah pinangan untuk sebuah perkawinan yang
baik. Diantaranya datang dari gubernur basra, juga dari seorang cuci-mistis
yang terkenal hasan basri. Tetapi rabi’ah terlalu sibuk mengabdikan dirinya
kepada Allah, hingga sisa waktunya sedikit
sekali untuk urusan duniawi. Karena itulah semua pinangan ditolaknya.
Rabi’ah punya banyak murid yang keras, termasuk malik bin
dinar, raba al-rais, syakh al balkhi, dan hasan basra. Mereka sering
mengunjungi rabi’ah untuk mendapatkan nasihat atau do’a, atau untuk
mendengarkan ajarannya. Pada suatu hari, subyan suri, seorang yang saleh dan
dihormati datang pada rabi’ah, mengangkat kedua belah tangannya dan berdo’a:
“tuhan yang maha kuasa, saya memohon harta duniawi dari-Mu”. Menagis, ia
menjawab, “harta yang sesungguhnya itu hanya didapat setelah menanggalkan
segala yang bersifat duniawi ini, dan aku melihat anda hanya mencarinya didunia
ini saja”.
Terbetik cerita, ada
orang yang mengirim uang empat puluh dinar kepada rabi’ah. Ia menagis dan
mengangkat tangannya keatas, “Engkau tahu, Ya Allah, aku tak pernah meminta
harta dunia dari-Mu, merskipun kau-lah pencipta dunia ini. Lantas, bagaimana
aku dapat menerima yang dari seseorang, sedangkan uang itu sesungguhnya bukan
kepunyaannya?”.[9]
Ia melarang murid-muridnya untuk menunjukan perbuatan baik
mereka kepada siapapun. Mereka malahan diharuskan menutupi perbuatan baik itu,
seperti menutup-nutupi perbuatan jahat mereka.
Cinta rabi’ah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada tuhan,
terlihat dari ungkapan do’a-do’a yang disampikannya. Ia misalnya berdo’a “ Ya
Tuhanku, bila aku menyembah-Mu lantaran takut kepada neraka, maka bakarlah
diriku dalam neraka; dan bila aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, maka
jauhkanlah aku dari surga; namun jika aku menyembah-Mu hanya demi engkau, maka
janganlah engkau tutup keindahan abadi-Mu.
Kecintaan rabi’ah pada tuhan
terlihat dari syairnya berikut ini:
Aku
mencintaimu dengan dua cinta
Cinta
karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta
karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu
Cinta
karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir hingga engkau kulihat
Baik
untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mulah
pujian untuk kesemuanya.
Dalam syairnya yang lain ia mengatakan’
Kucintai
engkau lantaran aku cinta,
Dan
lantaran kamu patut dicintai,
Cintakulah
yang membuat rindu kepada-Mu
Demi
cinta suci ini, sibakkanlah tabir penutup tatapan sembahku
Janganlah
kau puji aku lantaran itu
Bagi-Mulah segala puji dan puji.
Atas syair-syair tersebut, al-Ghazali mengatakan: “Barangkali yang ia maksud dengan
cinta kerinduan itu ialah cinta kepada Tuhan, karena kasih sayang, rahmat dan
iradah Allah telah sampai kepadanya”. Karena Allah telah menganugrahkan roh,
sehingga ia dapat menyebut dan dekat dengan-Nya.
Syair-syair tersebut ia ucapkan pada saat telah datang
keheningan malam dengan gemerlapnya bintang, tertutupnya pintu-pintu istana
raja dan orang-orang telah terbuai dalam tidurnya. Waktu malam sengaja dipilih
karena pada waktu itulah roh dan daya rasa yang ada dalam diri manusia tambah
meningkat dan tajam, tak ubahnya seorang yang bercinta yang selalu mengharapkan
waktu-waktu malam untuk selalu bersamaan.
Sedemikian
tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh Rabi’ah, bisa dilihat,
misalnya, dalam sebuah munajat yang ia panjatkan: “Tuhanku, sekiranya aku
beribadah kepada-Mu karena takut neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api
jahanam. Dan sekiranya aku beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu,
jauhkan aku darinya. Tapi, sekiranya aku beribadah kepada-Mu hanya semata cinta
kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang abadi”.
Saking besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah cintanya
telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di hatinya untuk
mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Pun, tak ada
ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun, bahkan kepada setan sekalipun.
Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta kepada Tuhan semata. Hal ini juga
Rabi’ah tunjukkan dengan memutuskan untuk tidak menikah sepanjang hidupnya,
karena ia menganggap seluruh diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.[10]
C.
Alat Untuk Mencapai Mahabbah
Dalam diri
manusia ada tiga alat yang dapat dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama,
al-qalb/hati sanubari, sebagai alat untuk mengetahi sifat-sifat Tuhan. Kedua,
roh sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sir yaitu alat untuk
melihat Tuhan. Sir lebih halus dari pada roh, dan roh lebih halus dari pada
qalb. Sir bertempat di roh, dan roh bertempat di qalb,
dan sir timbul dan dapat iluminasi dari Allah, kalau qalb dan roh telah suci sesuci-sucinya dan sekosong-kosongnya, tidak berisi
apapun.
Dengan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa alat untuk
mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari dosa dan
maksiat, serta dikosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu, melainkan
hanya diisi oleh cinta kepada Tuhan.[11]
Roh yang
digunakan untuk mencintai Tuhan itu telah dianugrahkan Tuhan kepada manusia
sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur empat bulan. Dengan demikian
alat untuk mahabbah itu sebenarnya telah diberikan Tuhan. Manusia tidak tahu
sebenarnya hakikat roh itu. Yang mengetahui hanyalah Tuhan. Allah berfirman:
štRqè=t«ó¡o„ur Ç`tã Çyr”9$# ( È@è% ßyr”9$# ô`ÏB ÌøBr& ’În1u‘ !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÑÎÈ
Artinya: “dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".” (QS.
Al-Isra’: 85)
Selanjutnya di
dalam hadis pun diinformasikan bahwa manusia itu diberikan roh olrh Tuhan, pada
saat manusia berusia empat bulan di dalam kandungan. Hadis tersebut berbunyi:
“sesungguhnya
manusia dilakukan penciptaannya dalam kandungan ibunya, selama empat puluh hari
dalam bentuk nutfah (segumpah darah), kemudian menjadi alaqah (segumpul daging
yang menempel) pada waktu yang juga 40 hari, kemudian dijadikan mudghah
(segumpal daging yang telah berbentuk) pada yang juga empat puluh hari,
kemudian Allah mengutus malaikat untuk menghembuskan roh kepadanya. (HR.
Bukhari-Muslim)
Dari kedua
dalil diatas selain menginformasikan bahwa manusia dianugrahi roh oleh Tuhan,
juga menunjukan bahwa roh itu pada dasarnya memiliki watak tunduk dan patuh
pada Tuhan. Roh, yang wataknya demikian itulah yang digunakan para sufi untuk
mencintai Tuhan.
D. Mahabbah Dalam
Al-Qur’an Dan Hadis
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di
dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW. Hal ini juga menunjukkan bahwa
ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah
mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang
sering ditudingkan oleh kalangan orientalis. Banyak
ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menggambarkan bahwa antara manusia dengan Tuhan
dapat saling bercinta. Misalnya ayat yang berbunyi:
a. Ali Imran ayat 30-31
tPöqtƒ ߉Éfs? ‘@à2 <§øÿtR $¨B ôMn=ÏJtã ô`ÏB 9Žöyz #\ŸÒøt’C $tBur ôMn=ÏJtã `ÏB &äþqß™ –Šuqs? öqs9 ¨br& $ygoY÷t/ ÿ¼çmuZ÷t/ur #J‰tBr& #Y‰‹Ïèt/ 3 ãNà2â‘Éj‹yÛãƒur ª!$# ¼çm|¡øÿtR 3 ª!$#ur 8$râäu‘ ÏŠ$t7Ïèø9$$Î/ ÇÌÉÈ
ö@è% bÎ) óOçFZä. tbq™7Åsè? ©!$# ‘ÏRqãèÎ7¨?$$sù ãNä3ö7Î6ósムª!$# öÏÿøótƒur ö/ä3s9 ö/ä3t/qçRèŒ 3 ª!$#ur Ö‘qàÿxî ÒO‹Ïm§‘ ÇÌÊÈ
30.
Pada hari ketika
tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga)
kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan
hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya.
Dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.
31.
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
b.
Al-Maidah ayat 54
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä `tB £‰s?ötƒ öNä3YÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ t$öq|¡sù ’ÎAù'tƒ ª!$# 5Qöqs)Î/ öNåk™:Ïtä† ÿ¼çmtRq™6Ïtä†ur A'©!ÏŒr& ’n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# >o¨“Ïãr& ’n?tã tûïÍÏÿ»s3ø9$# šcr߉Îg»pgä† ’Îû È@‹Î6y™ «!$# Ÿwur tbqèù$sƒs† sptBöqs9 5OͬIw 4 y7Ï9ºsŒ ã@ôÒsù «!$# ÏmŠÏ?÷sム`tB âä!$t±o„ 4 ª!$#ur ììÅ™ºur íOŠÎ=tæ ÇÎÍÈ
Hai orang-orang
yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak
Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang
bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan
yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah,
diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.
c. QS. Al-Baqarah ayat 165
šÆÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ä‹Ï‚Gtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# #YŠ#y‰Rr& öNåktXq™6Ïtä† Éb=ßsx. «!$# ( tûïÉ‹©9$#ur (#þqãZtB#uä ‘‰x©r& ${6ãm °! 3 öqs9ur “ttƒ tûïÏ%©!$# (#þqãKn=sß øŒÎ) tb÷rttƒ z>#x‹yèø9$# ¨br& no§qà)ø9$# ¬! $Yè‹ÏJy_ ¨br&ur ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>#x‹yèø9$# ÇÊÏÎÈ
165. Dan
diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah. dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu[106] mengetahui ketika mereka melihat siksa
(pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa
Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
[106] Yang dimaksud
dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.
Dalil-dalil
dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:
لاَيُؤْمِنُأَحَدُكُمْحَتَّىأَكُونَأَحَبَّإِلَيْهِمِنْوَلَدِهِوَوَالِدِهِوَالنَّاسِأَجْمَعِين
Tidak beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih
dicintainya daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.
وَلَا يَزَالُ عَبْدِ ى يَتَقَرَّبُ إِ لَيَّ بِا لنَّوَا فِلِ
حَتَّى اُحِبَّهُ وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمْعًا وَ بَصَرًا وَيَدًا
Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku
dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang Kucintai
menjadi telinga, mata dan tangan-Ku.
Kedua ayat dan satu hadis tersebut diatas
memberitakan petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan dapat saling mencintai,
karena alat untuk mencintai Tuhan, yaitu roh adalah berasal dari roh Tuhan. Roh
Tuhan dan roh yang ada pada manusia sebagai anugerah Tuhan bersatu dan
terjadilah mahabbah. Ayat dan hadis tersebut juga menjelaskan bahwa pada saat
terjadi mahabbah diri yang dicintai telah menyatu dengan yang mencintai yang
digambarkan dalam telinga, mata dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapai keadaan
tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
E.
Dasar Filosofi Mahabbah
Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang
cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah
melakukannya dengan cukup bagus.[12]
Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai
berikut:
a.
Cinta tidak akan terjadi tanpa
proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah
ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata
lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau
seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas
sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya
akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan
kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.
b.
Cinta terwujud sesuai dengan tingkat
pengenalan dan pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan
seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk
dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang
diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap
obyek yang dicintai tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia
melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan
oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan
melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah
yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh
pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.
c.
Manusia tentu mencintai dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya
sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan
jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang
bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Selanjutnya al-Ghazali juga menguraikan lebih jauh tentang
hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya cinta.
Pada gilirannya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada
cinta sejati, yaitu cinta kepada Tuhan Yang Maha Mencintai. Sebab-sebab itu
adalah sebagai berikut:
a)
Cinta kepada diri sendiri,
kekekalan, kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup
Orang yang mengenal diri dan Tuhannya tentu ia pun mengenal
bahwa sesungguhnya ia tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi dan
kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada Tuhan yang menciptakannya. Jika
seseorang mencintai dirinya dan kelangsungan hidupnya, kemudian menyadari bahwa
diri dan hidupnya dihasilkan oleh pihak lain, maka tak pelak ia pun akan
mencintai pihak lain tersebut. Saat ia mengenal bahwa pihak lain itu adalah
Tuhan Yang Maha Pencipta, maka cinta kepada Tuhan pun akan tumbuh. Semakin dalam
ia mengenal Tuhannya, maka semakin dalam pula cintanya kepada Tuhan.[13]
b)
Cinta kepada orang yang berbuat baik
Pada galibnya, setiap orang yang berbuat tentu akan disukai
oleh orang lain. Hal ini merupakan watak alamiah manusia untuk menyukai
kebaikan dan membenci kejahatan. Namun pada dataran manusia dan makhluk
umumnya, pada hakikatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi. Karena
sesungguhnya, setiap kebaikan yang dilaksanakan oleh seseorang hanyalah sekedar
menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun motif ukhrawi.
Untuk motif duniawi, hal itu adalah jelas bahwa kebaikan
yang dilakukan tidaklah ikhlas. Namun untuk motif ukhrawi, maka kebaikan yang
dilakukan juga tidak ikhlas, karena masih mengharapkan pahala, surga, dan
seterusnya. Pada hakikatnya, ketika seseorang memiliki motif ukhrawi atau
agama, maka hal itu juga akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa Allah jugalah
yang berkuasa menanamkan ketaatan dan pengertian dalam diri dan hatinya untuk
melakukan kebaikan sebagaimana yang Allah perintahkan. Dengan kata lain, orang
yang berbuat baik tersebut pada hakikatnya juga terpaksa, bukan betul-betul
mandiri, karena masih berdasarkan perintah Allah.
Ketika kesadaran bahwa semua kebaikan berujung kepada Allah,
maka cinta kepada kebaikan pun berujung kepada Allah. Hanya Allah yang
memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya tanpa pamrih apapun. Allah berbuat baik
kepada makhluk-Nya bukan agar Ia disembah. Allah Maha Kuasa dan Maha Suci dari
berbagai pamrih. Bahkan meskipun seluruh makhluk menentang-Nya, kebaikan Allah
kepada para makhluk tetap diberikan. Kebaikan-kebaikan Allah kepada makhluk-Nya
itu sangat banyak dan tidak akan mampu oleh siapa pun. Karena itulah, pada
gilirannya bagi orang yang betul-betul arif, akan timbul cinta kepada Allah
sebagai Dzat Yang Maha Baik, yang memberikan berbagai kebaikan dan kenikmatan
yang tak terhitung jumlahnya.
c)
Mencintai diri orang yang berbuat
baik meskipun kebaikannya tidak dirasakan
Mencintai kebaikan juga merupakan watak dasar manusia.
Ketika seseorang mengetahui bahwa ada orang yang berbuat baik, maka ia pun akan
menyukai orang yang berbuat baik tersebut, meskipun kebaikannya tidak
dirasakannya langsung. Seorang penguasa yang baik dan adil, tentu akan disukai
rakyatnya, meskipun si rakyat jelata tidak pernah menerima langsung kebaikan
sang penguasa. Sebaiknya, seorang pejabat yang lalim dan korup, tentu akan
dibenci oleh rakyat, meski sang rakyat tidak mengalami langsung kelaliman dan
korupsi sang pejabat.[14]
Hal ini pun pada gilirannya akan mengantar kepada cinta terhadap
Allah. Karena bagaimanapun, hanya karena kebaikan Allah tercipta alam semesta
ini. Meski seseorang mungkin tidak langsung merasakannya, kebaikan Allah yang
menciptakan seluruh alam semesta ini menunjukkan bahwa Allah memang pantas
untuk dicintai. Kebaikan Allah yang menciptakan artis Dian Sastrowardoyo nan
cantik jelita namun tinggal di Jakarta, misalnya, adalah kebaikan yang tidak
langsung dirasakan seorang Iwan Misbah yang tinggal nun jauh di Ciwidey.
d)
Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah tentu disukai,
baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Lagu yang indah dirasakan oleh
telinga. Wajah yang cantik diserap oleh mata. Namun keindahan sifat dan
perilaku serta kedalaman ilmu, juga membuat seorang Imam Syafi’i, misalnya,
dicintai oleh banyak orang. Meskipun mereka tidak tahu apakah wajah dan
penampilan Imam Syafi’i betul-betul menarik atau tidak. Keindahan yang terakhir
inilah yang merupakan keindahan batiniah. Keindahan yang bersifat batiniah
inilah yang lebih kuat daripada keindahan yang bersifat lahiriah. Keindahan
fisik dan lahiriah bisa rusak dan sirna, namun keindahan batiniah relatif lebih
kekal.[15]
Pada gilirannya, segala keindahan
itu pun akan berujung pada keindahan Tuhan yang sempurna. Namun keindahan Tuhan
adalah keindahan rohaniah yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya
batin. Orang yang betul-betul menyadari betapa Tuhan Maha Mengetahui, Maha
Kuasa, dan segala sifat kesempurnaan melekat dalam Zat-Nya, maka tak ayal ia
pun akan menyadari betapa indahnya Tuhan, sehingga sangat pantas Tuhan untuk
dicintai.
e)
Kesesuaian dan keserasian
Jika sesuatu menyerupai sesuatu yang lain, maka akan timbul
ketertarikan antara keduanya. Seorang anak kecil cenderung lebih bisa akrab
bergaul dengan sesama anak kecil. Seorang dosen tentu akan mudah berteman
dengan sesama dosen daripada dengan seorang tukang becak. Ketika dua orang
sudah saling mengenal dengan baik, maka tentu terdapat kesesuaian antara
keduanya. Berangkat dari kesesuaian dan keserasian inilah akhirnya muncul
cinta. Sebaliknya, jika dua orang tidak saling mengenal, kemungkinan besar
karena memang terdapat perbedaan dan ketidakcocokan antara keduanya. Karena
ketidakcocokan dan perbedaan pula akan muncul tidak suka atau bahkan benci.
Dalam konteks kesesuaian dan keserasian inilah, cinta kepada
Tuhan akan muncul. Meski demikian, kesesuaian yang dimaksud ini bukanlah
bersifat lahiriah seperti yang diuraikan di atas, namun kesesuaian batiniah.
Sebagian hal tentang kesesuaian batiniah ini merupakan misteri dalam dunia
tasawuf yang menurut al-Ghazali tidak boleh diungkapkan secara terbuka.
Sedangkan sebagian lagi boleh diungkapkan, seperti bahwa seorang hamba boleh
mendekatkan diri kepada Tuhan dengan meniru sifat-sifat Tuhan yang mulia,
misalnya ilmu, kebenaran, kebaikan, dan lain-lain.
Terkait dengan sebab keserasian dan kecocokan ini, satu hal
yang perlu digarisbawahi adalah bahwa Allah tidak akan pernah ada yang mampu
menandingi atau menyerupainya. Keserasian yang terdapat dalam jiwa orang-orang
tertentu yang dipilih oleh Allah, sehingga ia mampu mencintai Allah dengan
sepenuh hati, hanyalah dalam arti metaforis (majazi). Keserasian tersebut
adalah wilayah misteri yang hanya diketahui oleh orang-orang yang betul-betul
mengalami cinta ilahiah.
F.
Jenis-Jenis Mahabbah (Cinta)
Cinta
ada empat jenis, yaitu :
1. Cinta kepada Allah, yaitu cinta yang merupakan dasar iman dan tauhid.
2. Cinta karena Allah, yaitu mencintai nabi-nabi, rasul-rasul dan hamba-hamba-Nya
yang sholeh serta mencintai apa yang dicintai Allah berupa amalan, waktu,
tempat dan sebagainya, cinta ini mengikuti dan menyempurnakan kecintaan kepada
Allah.
3. Cinta bersama Allah, yaitu kecintaan orang-orang
musyrik terhadap tuhan-tuhan dan sembahan-sembahan mereka seperti pohon, batu,
manusia dan lain-lain yang merupakan asal dan dasar syirik.
4. Cinta naluri, terbagi atas tiga macam:
ü Cinta penghormatan dan penghargaan,
seperti kecintaan kepada orang tua.
ü Cinta kasih sayang dan rahmat,
seperti kecintaan kepada anak.
ü Cinta yang memiliki oleh semua
orang.[16]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Penulisan
1.
Mahabbah (cinta)
menurut para ulama tasawuf berarti “kehendak”, yaitu kehendak-Nya untuk
melimpahkan rahmat secara khusus kepada hamba, sebagaimana kasih sayang-Nya
bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-Nya.
2.
Aliran mahabbah di pelopori dan di kembangkan oleh seorang
sufi wanita yang bernama Rabi’ah Al-‘Adawiah. Rabi’ah al-adawiyah adalah
seorang zahid perempuan yang amat besar dari bashrah, di irak.
3.
Dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat
dipergunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama, al-qalb/hati
sanubari, sebagai alat untuk mengetahi sifat-sifat Tuhan. Kedua, roh
sebagai alat untuk mencintai Tuhan. Ketiga, sir yaitu alat untuk melihat
Tuhan.
4.
Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di
dalam Alquran maupun Sunah Nabi SAW. Hal ini juga menunjukkan bahwa
ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah
mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang
sering ditudingkan oleh kalangan orientalis. Dalam Al-Quran mahabbah terdapat
pada Ali Imran ayat 30-31, Al Maidah ayat 54, Al Baqarah ayat 165.
5.
Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang
cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah
melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari
tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu cinta terwujud dengan proses
Ma’arifat dan Idrak, cinta terwujud dengan tingkat Ma’arifat dan Idrak, manusia
mencintai dirinya.
6.
Jenis-jenis mahabbah yaitu cinta kepada Allah, cinta
karena Allah, cinta bersama Allah, cinta naluri.
B.
Saran –
Saran
1. Diharapkan kepada teman-teman
sejawat untuk biasa memahami secara mendalam lagi tentang materi yang
disampaikan dan diharapkan untuk mempertanyakan hal-hal yang belum dimengerti
agar kedepannya tidak salah lagi.
2. Diharapkan kepada teman-teman
Mahasiswa/Mahasiswi agar berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengamalkan
perbuatan-perbuatan yang berakhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari. Karena
dengan Akhlak yang baik bukan hanya akan berpengaruh pada diri pribadi
melainkan juga pada orang lain.
3. Diharapkan kepada teman-teman
Mahasiswa/Mahasiswi agar senantiasa berusaha untuk sampai ke titik
Mahabbah ini sebab dititik inilah rasa Cinta kita kepada Khalik sang pencipta bisa
terealisasikam secara utuh dan murni
DAFTAR PUSTAKA
Hadibesc. 2013.
“Rabiah Al-Adawiyah”. Dikutip dari https://hadibesc.blogspot.co.id/2013/06/rabiah-al-adawiyah-a.html. Pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.10.
May, Asmal. 2001. Corak Tasawuf Syekh Jalaluddin Cetakan 1. Pekanbaru: Susqa Press
Nasution, Harun. 1983. Falsafah dan
Mistisisme dalam Islam Cetakan III. Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, Harun. 1973. Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, Abuddin. 2011. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Quzwen, Chatib. 1985. Mengenal Allah Cetakan 25. Jakarta: Bulan Bintang.
Racheedus. 2015. “Konsep
Mahabbah Dalam Tasawuf”. Dikutip dari https://racheedus.wordpress.com/makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/. Pada tanggal 19 Oktober
2017 pukul 13.30.
Siti Masitoh.
2014. “Mahabbah”. Dikutip dari http://itohkhalifah.blogspot.co.id/2014/10/makalah-tentang-mahabbah.html. Pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.17.
Yesti Jasmine.
2014. “Mahabbah Menurut Konsep Tasawuf”. Dikutip dari http://yestijasmine.blogspot.co.id/2014/01/mahabbah-menurut-konsep-tasawuf.html. Pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.00.
Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Arab
Indonesia. Jakarta: Hidakarya.
[1]Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta:
Hidakarya, 1990), hlm.96.
[2]Chatib Quzwen, Mengenal Allah Cetakan 25, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985),
hlm. 99.
[3]Asmal May, Corak Tasawuf Syekh
Jalaluddin Cetakan 1,
(Pekanbaru: Susqa Press, 2001) hlm. 160.
[4]Yesti Jasmine, “Mahabbah Menurut Konsep Tasawuf”, Dikutip dari http://yestijasmine.blogspot.co.id/2014/01/mahabbah-menurut-konsep-tasawuf.html, pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.00.
[5]Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam Cetakan III,
(Jakarta: Bulan Bintang,1983), hlm.70.
[6]Ibid,
hlm. 71
[7]Yesti Jasmine, “Mahabbah Menurut Konsep Tasawuf”, Dikutip dari http://yestijasmine.blogspot.co.id/2014/01/mahabbah-menurut-konsep-tasawuf.html, pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.00
[8]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 207.
[9]Hadibesc,
“Rabiah Al-Adawiyah”, Dikutip dari https://hadibesc.blogspot.co.id/2013/06/rabiah-al-adawiyah-a.html, pada
tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.10.
[10]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1973), hal. 74.
[11]Hadibesc, “Rabiah Al-Adawiyah”, Dikutip dari https://hadibesc.blogspot.co.id/2013/06/rabiah-al-adawiyah-a.html, pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.10.
[12]Racheedus, “Konsep Mahabbah Dalam Tasawuf”, Dikutip
dari https://racheedus.wordpress.com/makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/, pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.30.
[13]Racheedus,
“Konsep Mahabbah Dalam Tasawuf”, Dikutip dari https://racheedus.wordpress.com/makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/, pada
tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.30.
[14]Racheedus,
“Konsep Mahabbah Dalam Tasawuf”, Dikutip dari https://racheedus.wordpress.com/makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/, pada
tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.30.
[15]Racheedus,
“Konsep Mahabbah Dalam Tasawuf”, Dikutip dari https://racheedus.wordpress.com/makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/, pada
tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.30.
[16]Siti Masitoh, “Mahabbah”, Dikutip dari http://itohkhalifah.blogspot.co.id/2014/10/makalah-tentang-mahabbah.html, pada tanggal 19 Oktober 2017 pukul 13.17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar