Senin, 19 Maret 2018

Makalah Ushul Fiqih “AL AM DAN AL KHAS”

MAKALAH USHUL FIQIH
AL AM DAN AL KHAS


Disusun oleh :
Kelompok      : 2 (Dua)
Nama              :
1.      Arwanti                                   (16 0201 0124)
2.      Nurul Falah                             (16 0201 0105)
3.      Sabaria                                                (16 0201 0135)
4.      Varsella Aprillian Amrul       (16 0201 0145)
Kelas               : PAI-D
Semester         : II (Dua)
Dosen              : Dr. Hj. A. Sukmawati Assa’ad, S.Ag, M.Pd.



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALOPO

2016/2017

KATA PENGANTAR


Segala puji bagi Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan Makalah Ushul Fiqih yang berjudul AL AM dan AL KHAS.
Terselesaikannya Makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari beberapa pihak, sehingga pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1.    Guru Ushul Fiqih kami Ustadzah Dr. Hj. A. Sukmawati Assa’ad, S.Ag, M.Pd. Karena atas kesempatan yang telah diberikan kepada kami dalam pembuatan dan penyelesaian makalah ini.
2.    Kedua Orang Tua kami, yang senantiasa mendukung, menuntun kami dalam hidup ini dengan doa yang tulus.
3.    Teman-teman mahasiswa/mahasiswi yang selalu memberi semangat dan motifasi untuk kami dalam penyelesaian Makalah ini.
Penulisan Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, informasi yang kurang banyak, sistematika yang masih kurang baik, masih kurangnya pengetahuan kami tentang Materi. Sehingga pada kesempatan ini kami juga mengharapkan kritik serta saran dari teman-teman mahasiswa/mahasiswi dan para pembaca untuk penulisan Makalah yang lebih baik lagi kedepannya.
Semoga dengan adanya Makalah ini teman-teman mahasiswa/mahasiswi  serta pembaca bisa menambah pengetahuan dan semoga kedepannya kita bisa menyelesaikan penulisan karya-karya tulis lain dengan lebih baik lagi.

                       
Palopo, 30 April 2017


Penulis

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii

A.    Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................... 1
C.     Pengertian  Al Am................................................................................... 2
D.    Dilalah Lafadz Al ‘Am............................................................................ 3
E.     Macam-Macam Al-‘Am........................................................................... 6
F.      Pengertian AL KHAS............................................................................. 7
G.    Macam-Macam Khas............................................................................... 9
H.    Dilalah Lafaz Khash................................................................................ 9
I.       Sifat-Sifat Lafadz Al-Khas..................................................................... 11
J.       Kesimpulan.............................................................................................. 12
K.    Saran........................................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 14


 A.      Latar Belakang Masalah
Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditela’ah karena sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya.
Ushul Fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menarik hukum dari Al-Quran dan Sunnah yaitu dengan metode istinbat. Seperti ‘Al Am dan khas, dan Amr dan Nahy.
Dalam ilmu ushul fiqih pembahasan lafal ‘Am dan khash mempunyai kedudukan tersendiri, Karena lafal‘Am dan khash mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan pendapat ulama dalam menetapkan hukum. Dari sisi lain sumber hukum Islam pun, Alquran dan Sunah dalam banyak hal memakai lafal yang umum dan khusus. Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat dalam memberikan definisi atau pengertian tentang lafal‘Am dan khash. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama.
Oleh karena itu, kami membuat makalah yang berisi materi Al AM dan Al KHAS untuk menambah wawasan serta pengetahuan pembaca khususnya teman-teman mahasiswa/mahasiswi kami.
B.       Rumusan Masalah
Di setiap penulisan Makalah tentu memiliki rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penulisan pada Makalah  ini adalah :
1.        Apa definisi dari AL AM?
2.        Bagaimana dilalah Lafadz AL AM?
3.        Apa sajakah macam-macam AL AM?
4.        Apa definisi dari AL KHAS?
5.        Apa sajakah macam-macam AL KHAS?
6.        Bagaimana dilalah AL KHAS?
7.        Bagaimana sifat Lafadz AL KHAS?
C.       Pengertian AL AM
Al ‘am secara etimologi berarti merata, yang umum. Sedangkan secara terminologi atau istilah, Muhammad Adib Saleh mendefinisikan bahwa al ‘am adalah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian tiap lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.[1]
Lafaz Al am ini adalah menurut kepada bentuk dari suatu lafadz, di dalam lafadz itu tersimpul, atau masuk semua jenis yang sesuai dengan lafadz itu. Sebagaimana kita katakan al-insan (manusia, maka di dalam kata-kata al-insan ini termasuk semua manusia yang ada di dunia ini,baik manusia itu kecil ataupun besar, baik dia merdeka maupun dia masuk golongan budak, baik dia bebas maupun dia terikat. 
Adakalanya lafadz umum itu ditentukan dengan lafadz yang telah disediakan untuk itu, seperti lafadz “kullu, jami’u, dan lain-lain.
Maka yang dimaksud dengan ‘amm yaitu suatu lafadz yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja.seperti kita katakan arrijal, maka lafadz ini meliputi semua laki-laki.[2]
Manna’ Khalil al-Qattan mendefinisikan ‘Amm sebagai berikut yaitu lafadz yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.[3]
Adapun Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Amm sebagai berikut yaitu Al-‘Amm ialah lafadz yang menurut arti bahasanya menunjukkan atas mencakup dan menghabiskan semua satu-satuan yang ada di dalam lafadz itu dengan tanpa menghitung ukuran tertentu dari satuan-satuan itu.[4]
Al-‘amm (keumuman) ialah lafadz yang menunjukkan pengertian yang meliputi seluruh objek-objeknya seperti : 
اِنَّ اْلاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ….الاية
“sesungguhnya manusia itu dalam kerugian….”.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa lafadz ‘amm atau umum ialah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.
Menurut pendapat yang lain lagi bahwa ‘Am dalam arti kebahasaan adalah menyeluruh, dalam pandangan ulama ushul fiqh yang dimaksud dengan istilah am adalah kata yang memuat seluruh bagian dari kandungan lafaz, sesuai dengan pengertian kebahasaan tanpa pengecualian oleh kata lain.
Pada intinya semua pengertian tentang ‘Am tersebut diatas mempunyai maksud yang sama, Jadi dapat kita simpulkan bahwa ‘Am ialah “Lafaz yang meliputi pengertian umum, terhadap semua apa yang termasuk dalam pengertian lafaz itu, dengan hanya disebut sekaligus.”
D.      Dilalah Lafadz Al ‘Am
Para ulama sepakat bahwa lafaz am yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takshis adalah qathi dilalah. Merekapun sepakat bahwa lafaz am disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafaz ‘Am yang mutlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takshis, atau berlaku umum yang mencakup satuan satuannya.
Menurut Hanafiyah dilalah ‘Am itu qathi, yang dimaksud Qathi ialah Tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil. Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan adanya takshis sama sekali. Oleh karena itu , untuk menetapkan ke qathi an lafaz am, pada mulanya tidak boleh di takshis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takshis maka dilalahnya Zhanni.
Mereka beralasan, Sesungguhnya suatu lafaz apabila dipasangkan pada suatu makna, maka makna itu berketatapan yang pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya, lebih tegas lagi mereka mengatakan : Sesungguhnya lafaz ‘Am merupakan suatu hakikat, karena kosong dari segala yang menunjukan satu makna khusus. Dan jika suatu lafaz, jika dalam keadaan mutlak, maka menunjukan pada maknanya yang hakiki, yakni mutlak. Begitu pula lafaz ‘Am yang mutlak dari suatu indikasi tentang kekhususannya menunjukan pada makna umum, dan tidaklah berubah dari maknanya yang hakiki, kecuali dengan dalil.[5]
Menurut jumhur ulama ( Malikiyah, Syafi iyah, dan Hanabilah), dilalah ‘Am adalah zhanni. Meraka beralasan, dilalah ‘Am itu termasuk bagian dilalah dzhahir, yang mempunyai kemungkinan di takshis. Dan ini pada lafaz ‘Am banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan dilalahnya qathi. Sehubungan dengan hal itu, Ibnu Abbas berkata: Artinya: Dalam Al Quran semua lafaz umum itu ada takshisnya, kecuali firman Allah, Dan Allah maha Mengetahui atas segala sesuatu.
Oleh karena itu, mereka mengeluarkan suatu kaidah yang berbunyi, yang Artinya : Tidaklah ada lafaz yang umum kecuali sudah ditakshis.
Ulama Hanafiyah membantah alasan jumhur, Kemungkinan itu tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicara, bukan dari dalil.
            Dari kedua sikap ulama tersebut, timbul masalah lain yang menjadi prinsip bagi mereka masing masing. Masalah ini mempunyai dampak yang sangat besar pada perdebatan diantara mereka dalam beberapa masalah, yaitu diantara lain:
a.       Apakah boleh lafaz ‘Am yang qathi tsubut di takshih oleh dalil zhanni?
b.      Apabila ada suatu nash yang menggunakan lafaz ‘Am di suatu tempat dan ditempat lain menggunakan lafaz khas, yang satu dengan yang lainnya bertentangan. Apakah hal ini bisa dikatakan sebagai ta’ar bahwa ud (saling bertentangan)?
Pada masalah pertama menurut Asy Syafiiyah dan Ahmad, apabila pertentangan antara lafaz khas yang terdapat pada khobar ahad dengan lafaz ‘Am Al-Qur’an, maka khabar ahad itu bisa mentakshis lafaz ‘Am Al-Qur’an. Sekalipun lafaz ‘Am Al-Qur’an itu qathi tsubutnya, dilalahnya zhanni. Sebaliknya, khas khobar ahad sesungguhnya zhanni tsubutnya, tetapi qathi dilalahnya, menurut pendapat ini As sunah dipandang sebagai penjelasan terhadap Al-Qur’an, walaupun khobar ahad.[6]
Menurut Hanafiyah khobar ahad tidak dapat mentakshis Al-Qur’an kecuali lafaz ‘Am Al-Qur’an itu sebelumnya telah terkena takshis. Mereka memandang bahwa dilalah ‘Am itu qathi, sepert yang telah diuraikan dimuka, dan takshis bukan merupakan suatu penjelasan, melainkan pembatalan pemakaian sebagian satuan lafaz ‘Am, mereka menetapkan bahwa pada lafaz ‘Am itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak memerlukan penjelasan. Oleh sebab itu Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu, karena ayat mengenai wudhu, yaitu surah Al Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedangkan Jumhur ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu karena berdasar hadis yang berbunyi, Artinya : Allah tidak menerima sholat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya ( tertib pelaksanaannya ), maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tangannya.
Lain halnya Imam Malik, Sungguhpun memandang bahwa lafaz ‘Am Al Quran adalah Zhanni, ia tidak selamanya menjadikan khobar ahad dapat mentakshis lafaz ‘Am Al-Qur’an. Ia kadang kadang berpegang pada lafaz ‘Am Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang kadang men takshis lafaz ‘Am Al-Qur’an dengan khobar ahad.
Misalnya firman Allah, yang artinya : Dan Allah menghalalkan (menikah) selain itu (yang telah disebut) di takhshis dengan hadis yang artinya: Wanita yang dilarang dinikahi, adalah bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.
Menurut imam Malik, khabar ahad yang men takshis lafaz ‘Am Al-Qur’an ialah khabar ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau dengan Qiyas.[7]
Diantara masalah furu yang dipersilahkan akibat perbedaan prinsip diatas ialah halal tidaknya memakan binatang hasil sembelihan tanpa memakai bismillah.
Menurut Hanafiyah sembelihan tanpa disertai dengan ucapan bismillah tidak halal dimakan, mereka berpegang pada ayat:
وَلَا تَأۡكُلُواْ مِمَّا لَمۡ يُذۡكَرِ ٱسۡمُ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ وَإِنَّهُۥ لَفِسۡقٞۗ  
Artinya:  Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. ( Q.S Al An’am : 121).
Mereka tidak mau mentakshisnya dengan hadis Rasul yang berbunyi, Artinya: Seorang muslim menyembelih dengan menyebut bismillah, sebutlah( ucapkanlah bismillah) atau tidak. ( H.R Abu Daud). Sebab hadis ini zhanni wurudnya sekalipun qathi dilalahnya.

E.       Macam-Macam Al-‘Am
Para ulama dalam hal ini membagi ‘Am menjadi tiga kategori:
1)                     Al ‘Am Al Istighraqy, yakni yang mencakup segala sesuatu yang dapat dicakupnya tanpa kecuali, sehingga semua disentuh olehnya, misal: ketentuan tentang kewajiban wanita yang bercerai untuk melaksanakan iddah (masa tunggu) selama tiga quru (suci atau haid). Ketentuan ini berlaku untuk segala bentuk perceraian, kecuali jika ada petunjuk lain yang mengecualikan salah satu bentuknya.
2)                     ‘Am Majmuiy, yakni yang tidak mencakup keseluruhan bagian bagiannya satu demi satu, tetai secara umum saja. Misalnya : kewajiban mempercayai nabi nabi yang di utus allah, jumlah mereka banyak, namun dua puluh lima nabi yang disebut nama namanya dalam al-Quran sudah dinilai cukup mewakili seluruh nabi yang banyak sekali.
3)                     Al ‘Am Al Badaly, yakni yang diwakili oleh seorang saja dari anggota yang dicakup oleh lafaz itu. Misalnya : perintah untuk bernafkah kepada fakir miskin. Memberi seorang siapa saja dari siapapun yang berstastus fakir miskin, sudah cukup. Karena memang lafaz umum di sini adalah al am badaly.[8]
Ditetapkan dengan ketetapan nash bahwa ‘am itu terbagi tiga, yaitu:
1)      ‘‘Am yang dimaksud dengan secara qath’i umum, yaitu ‘‘Am yang didampingi oleh qarinah, menafikan sasaran yang ditaksishkan.
2)      ‘Am yang dimaksud dengan secara qath’i khusus, yaitu apa yang didampingi dengan qarinah, pada umumnya tetap menafikan dan menyatakan maksud sebagian dari ifradnya itu.
3)      ‘Am makhsus, yaitu ‘am muthlak yang tidak didampingi oleh qarinah, meniadakan hal-hal yang ditakhsiskan. Tidak ada qarinah yang menafikan dalilnya terhadap umum. Misalnya kebanyakan nash yang terdapat padanya sighat umum. Terlepas dari qarinah-qarinah lafdziah atau aqliah atau harfiah yang menyatakan umum, sebelum dikemukakan dalil untuk mentakhsisnya. Misalnya, perempuan-perempuan yang ditalak oleh suaminya harus menunggu (iddah).
Kata Syaukani dalam memperbedakan antara ‘Am maksudnya khusus dan ‘Am yang dikhususkan. ‘Am yang dimaksud dengannya khusus yaitu ‘Am yang mendampinginya ketika mengucapkan kata. Yaitu qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimksudnya itu adalah khusus. Umpamanya pembicaraan yang dipaksakan berbentuk umum. Yang dimaksud dengan ‘‘Am di sini adalah khusus dari mereka yang ahli untuk dipaksa menurut kehendak akal. Tidak termasuk kedalam ini hal ini orang-orang tidak mukallaf
F.       Pengertian AL KHAS
Khas adalah lawan kata dari ‘Am atau dengan kata lain khas adalah lafaz yang tidak bisa digunakan mengikutsertakan banyak satuannya. Firman allah yang menetapkan masa tunggu wanita yang hamil sampai dengan kelahiran anaknya , merupakan lafaz yang khusus untuk wanita yang demikian itu halnya. Tidak mencakup selainnya.
Menurut bahasa khash artinya tertentu, sedangkan menurut istilah ushul fiqih khash ialah lafadz  khash  telah mengandung makna yang  jelas baik jenis, jumlah, bentuk maupun ketentuan lainnya. Jika suatu nas mengandung arti khash maka dapat ditetapkan sebuah hukum yang pasti. Selama tidak terdapat dalil yang mentakwilnya, atau menghendaki arti lain dari padanya.[9]
Pengertian khas (khusus) adalah lawan dari pengertian ‘am (umum). Dengan demikian bila telah memahami pengertian lafazh ‘am secara tidak lansung, juga dapat memahami pengertian lafazh khas.
Pengertian al-khash menurut para tokoh-tokoh ushul fiqh adalah sebagai berikut:
a.    Adib Shalih
Mendefenisikan Lafal al-Khash yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.
b.   Abu Zahra
Mendefenisikan Lafal al-Khash dalam nash syara’, menunjukan kepada pengertianya yang yang khas secara qaht’I (pasti) dan hukum yang terkandung dikandungya bersifat pasti (qaht’i) selama tidak ada indikasi yang menunjukan pengertian lain. Pendapat Abu Zahra ini disepakati oleh para ulama Ushul Fiqh.[10]
c.       Al Amidi
Mendefinisikan al-Khash adalah satu lafazh yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.
d.      Al Khudahari Beik
Mendefinisikan al-Khash adalah lafazh yang dari segi kebahasaan ditentukan untuk satu arti secara mandiri.
e.       Abdul Wahhab Abdul Salam Thawilah
Berpendapat bahwa setiap lafal yang diungkapkan  untuk menunjukkan satuan maknawi tertentu.
f.       Abdul Wahhab Khallaf
Mendefinisikan yaitu lafal yang dipakai untuk  menunjukkan seseorang, misalnya Muhammad atau semacamnya misalnya laki-laki.[11]
Jadi pengertian al-Khash sendiri adalah suatu lafal yang telah jelas hukum yang terkandung di dalam nash, baik itu al-Qur’an maupun hadis Nabi sendiri, sebelum ada dalil yang menghendaki arti lain, hukum yang diambil dari khash ini adalah pasti (qath’i) bukan zhanny.
G.      Macam-Macam Khas
1.      Khash Syakhshi, seperti nama-nama alam:زيد بن محمّد
2.      Khash Nuu’, seperti: الإنسان  = ialah suatu lafal yang menunjukkan makna bagi seorang laki-laki yang sudah balig.
3.      Khash Jinsi, seperti: الإنسان= hewan yang berfikir/berbicara. Itulah hakikatnya.
4.      Lafal yang mempunyai beberapa makna bagi zat.[12]

H.      Dilalah Lafadz Khash
Para ulama sepakat bahwa dilalah lafaz khas adalah qathi. Namun mereka berbeda pendapat dalam sifat keqathiannya itu, apakah lafaz khas yang dipandang qathi dilalahnya itu sudah jelas dengan sendirinya. Sehingga tidak mempunyai penjelasan lain atau perubahan makna, ataukah sekalipun lafaz khas itu qathi dilalahnya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang lain.[13]
Golongan Hanafiyah mengambil pendapat pertama. Mereka menyatakan, Sesungguhnya lafaz khas sepanjang telah memilki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafaz itu sendiri. Seandainya lafaz khas itu masih mempunyai kemungkinan peruabahan dengan penjelasan lain, pasti keadaan penjelasannya itu menetapkan yang sudah tetap atau menolak yang sudah tertolak. Sedangakan kedaunya ini tidak bisa diterima.
Dari sikapnya ini dapat ditarik kesimpulan pokok, yaitu:
1.                     Mereka menetapkan bahwa lafaz khas itu tidak memerluka penjelasan lain, sehingga dalam mengambil hukum dari satu dilalah khas, mereka tidak mengambil hadis hadis yang berhubungan dengan penjelasan lafaz khas sebagai pembantu untuk penjelasannya, karena menurut mereka, dilalah khasas itu tidak memerlukan penjelasan lain.
2.                     Karena mereka menyatakan bahwa lafaz khas Al-Qur’an itu qathi dilalahnya dan tidak memerlukan penjelasan, maka setiap perubahan hukum denga nash lain dipandang sebagai penghapusan hukum, bukan penjelasan. Oleh sebab itu nasikh harus sama kekuatan dilalahnya dengan khas yang dihapus dilalahnya ( mansukh). Dengan demikian, apabila tidak sama kekuatan dilalahnya, maka tidak bisa diterima, konsekuensinya lafaz khas yang qathi itu tidak bisa dihapus denga hadis ahad.
Golongan Jumhur ulama, antara lain : Syafiiyah dan Malikiyah mengambil pendapat yang menyatakan bahwa sekalipun lafaz khas itu dilalahnya qathi, namun tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna soal wadha nya (asal pemasangannya), sehingga apabila terdapat nash yang mengubah dilalah khas itu, maka ia dipandang sebagaia penjelasan terhadap lafaz khas itu[14].
Dari sikap ini dapat diambil kesimpulan yang berbeda, dengan pendapat pertama, yakni :
1.   Nash khas menerima penjelasan dan perubahan
2.   Lafaz khas Al-Qur’an menurut pandangannya tetap menerima penjelasa dan perubahan. Maka ia dipandang sebagai lafaz mujmal. Oleh sebab itu, Lafaz khas mungkin saja berubah melalui penjelasan, sungguhpun penjelasan itu kekuatan dilalahnya dari segi tsubut lebih rendah dari kekuatan khas itu sendiri, seperti hadis ahad.
Perbedaan pendapat para ulama tentang kedudukan dilalah khas tersebut berpengaruh tehadap beberapa masalah fiqh, misalnya pada ruku :
وَارْ كَعُوْا مَعَ الرّاكِعِيْنَ
      Artinya: Ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’
Ulama Hanafiyah memandang bahwa ruku dalam shalat itu bagaimana Lafaz khas untuk suatu perubahan yang ma’lum, yaitu condong dan berdiri tegak. Mereka menyatakan bahwa ruku yang diperintahkan pada ayat itu dan merupakan bagian fardhu sholat adalah condong dan berdiri tegak tanpa tuma’ninah.[15]
Adapun hadis yang memerintahkan keharusan tuma’ninah adalah:
 “Berdirilah dan sholatlah karena engakau belum sholat.”
Tuma’ninah itu bukan syarat sah shaolat, menurut mereka seandainya tuma’ninah itu syarat sah sholat, berarti merupakan penambahan atas lafaz khas Al-Qur’an yang jelas. Dengan sendirinya hal itu termasuk penambahan khobar ahad. Dan berarti sebagai khobar nasakh, sedangkan penghapus harus sama kekuatan dilalahnya dari segi wurud dengan mansukhnya. Padahal hadis ahad itu tidak sama kekuatan khas Al-Qur’an yang qathi, sehingga mereka tidak mensyaratkan tuma’ninah sebagia syarat ruku’. Dengan kata lain, mereka tidak menjadikan tuma’ninah sebagai fardhu. Tegasnya yang fardhu itu rukunnya, bukan tuma’ninahnya.[16]
Golongan Syafiiyah memandang bahwa lafaz khas itu mempunyai kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka dari segi ini mereka mamandang lafaz khas itu sebagai lafaz mujmal. Oleh sebab itu mereka menerima kemungkinan adanhya perubahan atas lafaz khas yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan hadis ahad yang merupakan penjelasannya. Maka menurut golongan ini tuma’ninah yang diisyaratkan oleh hadis tersebut merupakan penjelasan terhadap ayat Al-Qur’an dan termasuk fardhu dalam ruku’.[17]
I.          Sifat-Sifat Lafadz Al-Khas
Lafaz khas  yang mempunyai banyak bentuk, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafaz itu sendiri, ia kadang berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang berentuk amr dan kadang berbentuk nahy. Dengan demikian macam macam lafaz khas mencakup : mutlaq, muqayyad, amr, dan nahy.[18]
Lafal yang terdapat  pada nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak berdasar pada dalil, maka keqath’ian dilalahnya tidak terpengaruhi.[19]
Oleh karena itu, apabila lafal khash dikemukakan dalam bentuk mutlak, tanpa batasan apapun, maka lafal itu memberi faedah katetapan hukum secara mutlak, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafal itu dikemukan dalam bentuk perintah, maka ia memberi faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafal itu dikemukan dalam bentuk larangan (nahyi), ia memberikan faedah  berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.[20]

J.      Kesimpulan
1.      Al ‘am secara etimologi berarti merata, yang umum. Sedangkan secara terminologi atau istilah, Muhammad Adib Saleh mendefinisikan bahwa al ‘am adalah lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian tiap lafadz itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.
2.      Para ulama sepakat bahwa lafaz am yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan adanya takshis adalah qathi dilalah. Merekapun sepakat bahwa lafaz am disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafaz ‘Am yang mutlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takshis, atau berlaku umum yang mencakup satuan satuannya.
3.      Para ulama dalam hal ini membagi ‘Am menjadi tiga kategori yaitu : Al ‘Am Al Istighraqy, ‘Am Majmuiy, Al ‘Am Al Badaly.
4.      Menurut bahasa khash artinya tertentu, sedangkan menurut istilah ushul fiqih khash ialah lafadz  khash  telah mengandung makna yang  jelas baik jenis, jumlah, bentuk maupun ketentuan lainnya.
5.      AL KHAS terbagi menjadi beberapa bagian yaitu : Khash Syakhshi, Khash Nuu’, Khash Jinsi, Lafal yang mempunyai beberapa makna bagi zat.
6.      Para ulama sepakat bahwa dilalah lafaz khas adalah qathi. Namun mereka berbeda pendapat dalam sifat keqathiannya itu, apakah lafaz khas yang dipandang qathi dilalahnya itu sudah jelas dengan sendirinya. Sehingga tidak mempunyai penjelasan lain atau perubahan makna, ataukah sekalipun lafaz khas itu qathi dilalahnya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang lain.
7.      Lafaz khas  yang mempunyai banyak bentuk, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafaz itu sendiri, ia kadang berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang berentuk amr dan kadang berbentuk nahy. Dengan demikian macam macam lafaz khas mencakup : mutlaq, muqayyad, amr, dan nahy.

K.       Saran
Teman-teman Mahasiswa dan para pembaca yang ingin lebih mengetahui lebih dalam tentang materi seperti diatas sebaiknya  mencari literatur-literatur/refesensi-referensi yang ada di Internet maupun buku-buku karena pengetahuan yang kami sampaikan masih sangat sedikit. Dan untuk para pembaca yang ingin membuat makalah dengan judul serupa sebaiknya lebih baik lagi mengambil ilmu pengetahuan dari berbagai sumber agar makalah kedepannya lebih baik dari makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA


Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2011. Studi Ilmu-Ilmu Quran. Bogor: Litera Antar Nusa Bogor.
Bakry, Nazar. 1996. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Didi Al Hafizh. 2015. “Makalah Ushul Fiqh ‘Am Dan Khas” http://pptqamanah.blogspot.co.id/2015/12/makalah-ushul-fiqh-am-dan-khas.html. (Diakses pada tanggal 28 April 2017)
Khalaf, Abdul Wahab. 1993. Kaidah-Kaidah Hukum Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Khalaf, Abdul Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
M. Zein, Satria Effendi. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
Satria, Efendi. 2009. Ushul Fiqh Cetakan Ke-3. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Shihab, M. Quraish.2013. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Cv Pustaka Setia.
Wahid, Mahrus As’ad. A. 2006. Memahami Fiqih. Bandung : CV Armico.




[1] Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 196.
[2]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996), hlm. 184.
[3]Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran, (Bogor: Litera Antar Nusa, Bogor, 2011), hlm. 312.
[4]Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 298.
[5]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 194.
[6]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 196.
[7]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 198.
[8]M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 179-183.
[9] Mahrus As’ad. A. Wahid, Memahami Fiqih, (Bandung : CV Armico, 2006), hlm. 78.
[10] Satria, Efendi, Ushul Fiqh Cetakan Ke-3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 205.
[11] Abdul, wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), hlm. 241.
[12] Didi Al Hafizh,  “Makalah Ushul Fiqh ‘Am dan Khas, diakses dari http://pptqamanah.blogspot.co.id/2015/12/makalah-ushul-fiqh-am-dan-khas.html, pada tanggal 28 April 2017 pukul 14.30.
[13] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 189.
[14]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 190.
[15]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 191.
[16] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 191.
[17]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 192.
[18]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 187-189.
[19] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 187.
[20] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 188.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Tauhid "MACAM-MACAM TAUHID MELIPUTI ULUHIYYAH, RUBUBIYAH DAN ASMA WA SIFAT"

TUGAS TAUHID MACAM-MACAM TAUHID MELIPUTI ULUHIYYAH, RUBUBIYAH DAN ASMA WA SIFAT Di susun oleh : KELOMPOK                        :...