MAKALAH USHUL FIQIH
“AL AM DAN AL
KHAS”
Disusun
oleh :
Kelompok
: 2 (Dua)
Nama :
1.
Arwanti (16
0201 0124)
2.
Nurul Falah (16 0201 0105)
3.
Sabaria (16
0201 0135)
4.
Varsella Aprillian Amrul (16 0201 0145)
Kelas : PAI-D
Semester :
II
(Dua)
Dosen : Dr. Hj. A.
Sukmawati Assa’ad, S.Ag, M.Pd.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALOPO
2016/2017
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nyalah sehingga kami dapat
menyelesaikan penulisan Makalah Ushul Fiqih yang berjudul AL AM dan AL KHAS.
Terselesaikannya
Makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari beberapa pihak, sehingga
pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Guru
Ushul Fiqih kami Ustadzah Dr. Hj. A. Sukmawati Assa’ad, S.Ag, M.Pd. Karena atas kesempatan yang telah diberikan kepada kami dalam pembuatan
dan penyelesaian makalah ini.
2. Kedua Orang Tua kami, yang senantiasa mendukung, menuntun kami
dalam hidup ini dengan doa yang tulus.
3. Teman-teman mahasiswa/mahasiswi yang selalu memberi semangat dan
motifasi untuk kami dalam penyelesaian Makalah ini.
Penulisan
Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, informasi yang kurang banyak, sistematika
yang masih kurang baik, masih kurangnya pengetahuan kami tentang Materi.
Sehingga pada kesempatan ini kami juga mengharapkan kritik serta saran dari
teman-teman mahasiswa/mahasiswi dan para pembaca untuk penulisan Makalah yang
lebih baik lagi kedepannya.
Semoga
dengan adanya Makalah ini teman-teman mahasiswa/mahasiswi serta pembaca bisa menambah pengetahuan dan
semoga kedepannya kita bisa menyelesaikan penulisan karya-karya tulis lain
dengan lebih baik lagi.
Palopo, 30 April 2017
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR
ISI...................................................................................................... ii
A.
Latar
Belakang Masalah.......................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah.................................................................................... 1
C.
Pengertian Al Am................................................................................... 2
D. Dilalah Lafadz Al ‘Am............................................................................ 3
E.
Macam-Macam Al-‘Am........................................................................... 6
F.
Pengertian AL KHAS............................................................................. 7
G.
Macam-Macam Khas............................................................................... 9
H.
Dilalah Lafaz Khash................................................................................ 9
I.
Sifat-Sifat Lafadz Al-Khas..................................................................... 11
J.
Kesimpulan.............................................................................................. 12
K.
Saran........................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 14
A. Latar
Belakang Masalah
Pembahasan dari
segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditela’ah karena
sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang
mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya.
Ushul Fiqh menyajikan berbagai cara
dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Quran
dan Sunnah Rasulullah. Salah satu
metode yang dapat digunakan untuk menarik hukum dari Al-Quran dan Sunnah yaitu
dengan metode istinbat. Seperti ‘Al Am dan khas,
dan Amr dan Nahy.
Dalam ilmu ushul
fiqih pembahasan lafal ‘Am dan khash mempunyai kedudukan
tersendiri, Karena
lafal‘Am dan khash mempunyai tingkat yang luas serta menjadi ajang perdebatan
pendapat ulama dalam menetapkan hukum. Dari sisi lain sumber hukum Islam pun,
Alquran dan Sunah dalam banyak hal memakai lafal yang umum dan khusus. Para
ulama ushul fiqih berbeda pendapat dalam memberikan definisi atau pengertian
tentang lafal‘Am dan khash. Namun, pada hakikatnya definisi tersebut mempunyai
pengertian yang sama.
Oleh
karena itu, kami membuat makalah yang berisi materi Al AM dan Al KHAS untuk
menambah wawasan serta pengetahuan pembaca khususnya teman-teman
mahasiswa/mahasiswi kami.
B. Rumusan
Masalah
Di
setiap penulisan Makalah tentu memiliki rumusan masalah. Adapun rumusan masalah
dalam penulisan pada Makalah ini adalah
:
1.
Apa definisi dari AL AM?
2.
Bagaimana
dilalah Lafadz AL AM?
3.
Apa sajakah
macam-macam AL AM?
4.
Apa definisi
dari AL KHAS?
5.
Apa sajakah
macam-macam AL KHAS?
6.
Bagaimana
dilalah AL KHAS?
7.
Bagaimana sifat
Lafadz AL KHAS?
C. Pengertian
AL
AM
Al
‘am secara etimologi berarti merata, yang umum. Sedangkan secara terminologi
atau istilah, Muhammad Adib Saleh mendefinisikan bahwa al ‘am adalah lafadz
yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian tiap lafadz itu
sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.[1]
Lafaz
Al am ini adalah menurut
kepada bentuk dari suatu lafadz, di dalam lafadz itu tersimpul, atau masuk
semua jenis yang sesuai dengan lafadz itu. Sebagaimana kita katakan al-insan
(manusia, maka di dalam kata-kata al-insan ini termasuk semua manusia yang ada
di dunia ini,baik manusia itu kecil ataupun besar, baik dia merdeka maupun dia
masuk golongan budak, baik dia bebas maupun dia terikat.
Adakalanya
lafadz umum itu ditentukan dengan lafadz yang telah disediakan untuk itu,
seperti lafadz “kullu, jami’u, dan lain-lain.
Maka
yang dimaksud dengan ‘amm yaitu suatu lafadz yang dipergunakan untuk
menunjukkan suatu makna yang pantas (boleh) dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan
sekali ucapan saja.seperti kita katakan arrijal, maka lafadz ini
meliputi semua laki-laki.[2]
Manna’
Khalil al-Qattan mendefinisikan ‘Amm sebagai berikut yaitu lafadz yang
menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.[3]
Adapun
Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Amm sebagai berikut yaitu Al-‘Amm ialah
lafadz yang menurut arti bahasanya menunjukkan atas mencakup dan menghabiskan
semua satu-satuan yang ada di dalam lafadz itu dengan tanpa menghitung ukuran
tertentu dari satuan-satuan itu.[4]
Al-‘amm
(keumuman) ialah lafadz yang menunjukkan pengertian yang meliputi seluruh
objek-objeknya seperti :
اِنَّ اْلاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ….الاية
“sesungguhnya
manusia itu dalam kerugian….”.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa lafadz ‘amm atau umum ialah
lafadz yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafadz
itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.
Menurut pendapat yang lain lagi bahwa ‘Am dalam arti
kebahasaan adalah menyeluruh, dalam pandangan ulama ushul fiqh yang dimaksud
dengan istilah am adalah kata yang memuat seluruh bagian dari kandungan lafaz,
sesuai dengan pengertian kebahasaan tanpa pengecualian oleh kata lain.
Pada intinya semua pengertian tentang ‘Am tersebut diatas
mempunyai maksud yang sama, Jadi dapat kita simpulkan bahwa ‘Am ialah “Lafaz
yang meliputi pengertian umum, terhadap semua apa yang termasuk dalam
pengertian lafaz itu, dengan hanya disebut sekaligus.”
D.
Dilalah Lafadz Al ‘Am
Para ulama
sepakat bahwa lafaz am yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan
penolakan adanya takshis adalah qathi dilalah. Merekapun sepakat bahwa lafaz am
disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai
dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafaz
‘Am yang mutlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya
takshis, atau berlaku umum yang mencakup satuan satuannya.
Menurut
Hanafiyah dilalah ‘Am itu qathi, yang dimaksud Qathi ialah Tidak
mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil. Namun, bukan
berarti tidak ada kemungkinan adanya takshis sama sekali. Oleh karena itu ,
untuk menetapkan ke qathi an lafaz am, pada mulanya tidak boleh di takshis
sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takshis maka dilalahnya Zhanni.
Mereka
beralasan, Sesungguhnya suatu lafaz apabila dipasangkan pada suatu makna, maka
makna itu berketatapan yang pasti, sampai ada dalil yang mengubahnya, lebih
tegas lagi mereka mengatakan : Sesungguhnya lafaz ‘Am merupakan suatu hakikat,
karena kosong dari segala yang menunjukan satu makna khusus. Dan jika suatu
lafaz, jika dalam keadaan mutlak, maka menunjukan pada maknanya yang hakiki,
yakni mutlak. Begitu pula lafaz ‘Am yang mutlak dari suatu indikasi tentang
kekhususannya menunjukan pada makna umum, dan tidaklah berubah dari maknanya
yang hakiki, kecuali dengan dalil.[5]
Menurut jumhur
ulama ( Malikiyah, Syafi iyah, dan Hanabilah), dilalah ‘Am adalah zhanni.
Meraka beralasan, dilalah ‘Am itu termasuk bagian dilalah dzhahir, yang
mempunyai kemungkinan di takshis. Dan ini pada lafaz ‘Am banyak sekali. Selama
kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan dilalahnya qathi.
Sehubungan dengan hal itu, Ibnu Abbas berkata: Artinya: Dalam Al Quran semua
lafaz umum itu ada takshisnya, kecuali firman Allah, Dan Allah maha Mengetahui
atas segala sesuatu.
Oleh karena itu,
mereka mengeluarkan suatu kaidah yang berbunyi, yang Artinya : Tidaklah ada
lafaz yang umum kecuali sudah ditakshis.
Ulama Hanafiyah membantah alasan
jumhur, Kemungkinan itu tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan
pembicara, bukan dari dalil.
Dari
kedua sikap ulama tersebut, timbul masalah lain yang menjadi prinsip bagi
mereka masing masing. Masalah ini mempunyai dampak yang sangat besar pada
perdebatan diantara mereka dalam beberapa masalah, yaitu diantara lain:
a. Apakah
boleh lafaz ‘Am yang qathi tsubut di takshih oleh dalil zhanni?
b. Apabila
ada suatu nash yang menggunakan lafaz ‘Am di suatu tempat dan ditempat lain
menggunakan lafaz khas, yang satu dengan yang lainnya bertentangan. Apakah hal
ini bisa dikatakan sebagai ta’ar bahwa ud (saling bertentangan)?
Pada masalah pertama
menurut Asy Syafiiyah dan Ahmad, apabila pertentangan antara lafaz khas yang
terdapat pada khobar ahad dengan lafaz ‘Am Al-Qur’an, maka khabar ahad itu bisa
mentakshis lafaz ‘Am Al-Qur’an. Sekalipun lafaz ‘Am Al-Qur’an itu qathi
tsubutnya, dilalahnya zhanni. Sebaliknya, khas khobar ahad sesungguhnya zhanni
tsubutnya, tetapi qathi dilalahnya, menurut pendapat ini As sunah dipandang
sebagai penjelasan terhadap Al-Qur’an, walaupun khobar ahad.[6]
Menurut Hanafiyah
khobar ahad tidak dapat mentakshis Al-Qur’an kecuali lafaz ‘Am Al-Qur’an itu
sebelumnya telah terkena takshis. Mereka memandang bahwa dilalah ‘Am itu qathi,
sepert yang telah diuraikan dimuka, dan takshis bukan merupakan suatu
penjelasan, melainkan pembatalan pemakaian sebagian satuan lafaz ‘Am, mereka
menetapkan bahwa pada lafaz ‘Am itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan
tidak memerlukan penjelasan. Oleh sebab itu Hanafiyah tidak mewajibkan tertib
dalam berwudhu, karena ayat mengenai wudhu, yaitu surah Al Maidah ayat 6 sudah
cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedangkan Jumhur
ulama mewajibkan tertib dalam berwudhu karena berdasar hadis yang berbunyi,
Artinya : Allah tidak menerima sholat seseorang sehingga ia bersuci sesuai
tempatnya ( tertib pelaksanaannya ), maka hendaklah ia membasuh wajahnya
kemudian dua tangannya.
Lain halnya Imam Malik,
Sungguhpun memandang bahwa lafaz ‘Am Al Quran adalah Zhanni, ia tidak selamanya
menjadikan khobar ahad dapat mentakshis lafaz ‘Am Al-Qur’an. Ia kadang kadang
berpegang pada lafaz ‘Am Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang
kadang men takshis lafaz ‘Am Al-Qur’an dengan khobar ahad.
Misalnya firman Allah,
yang artinya : Dan Allah menghalalkan (menikah) selain itu (yang telah
disebut) di takhshis dengan hadis yang artinya: Wanita yang dilarang
dinikahi, adalah bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu.
Menurut imam Malik,
khabar ahad yang men takshis lafaz ‘Am Al-Qur’an ialah khabar ahad yang
didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau dengan Qiyas.[7]
Diantara masalah furu
yang dipersilahkan akibat perbedaan prinsip diatas ialah halal tidaknya memakan
binatang hasil sembelihan tanpa memakai bismillah.
Menurut Hanafiyah sembelihan tanpa
disertai dengan ucapan bismillah tidak halal dimakan, mereka berpegang pada
ayat:
وَلَا تَأۡكُلُواْ
مِمَّا لَمۡ يُذۡكَرِ ٱسۡمُ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ وَإِنَّهُۥ لَفِسۡقٞۗ
Artinya: Dan janganlah kamu memakan
binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. ( Q.S Al
An’am : 121).
Mereka tidak mau
mentakshisnya dengan hadis Rasul yang berbunyi, Artinya: Seorang muslim
menyembelih dengan menyebut bismillah, sebutlah( ucapkanlah bismillah) atau
tidak. ( H.R Abu Daud). Sebab hadis ini zhanni wurudnya sekalipun qathi
dilalahnya.
E. Macam-Macam
Al-‘Am
Para ulama dalam hal ini membagi ‘Am menjadi tiga kategori:
1)
Al
‘Am Al Istighraqy,
yakni yang mencakup segala sesuatu yang dapat dicakupnya tanpa kecuali,
sehingga semua disentuh olehnya, misal: ketentuan tentang kewajiban wanita yang
bercerai untuk melaksanakan ‘iddah (masa tunggu) selama tiga quru
(suci atau haid). Ketentuan ini berlaku untuk segala bentuk perceraian, kecuali
jika ada petunjuk lain yang mengecualikan salah satu bentuknya.
2)
‘Am
Majmuiy, yakni yang tidak
mencakup keseluruhan bagian bagiannya satu demi satu, tetai secara umum saja.
Misalnya : kewajiban mempercayai nabi nabi yang di utus allah, jumlah mereka
banyak, namun dua puluh lima nabi yang disebut nama namanya dalam al-Quran
sudah dinilai cukup mewakili seluruh nabi yang banyak sekali.
3)
Al
‘Am Al Badaly, yakni yang
diwakili oleh seorang saja dari anggota yang dicakup oleh lafaz itu. Misalnya :
perintah untuk bernafkah kepada fakir miskin. Memberi seorang siapa saja dari
siapapun yang berstastus fakir miskin, sudah cukup. Karena memang lafaz umum di
sini adalah al ‘am badaly.[8]
Ditetapkan dengan ketetapan nash bahwa
‘am itu terbagi tiga, yaitu:
1) ‘‘Am
yang dimaksud dengan secara qath’i umum, yaitu ‘‘Am yang didampingi oleh
qarinah, menafikan sasaran yang ditaksishkan.
2) ‘Am
yang dimaksud dengan secara qath’i khusus, yaitu apa yang didampingi dengan
qarinah, pada umumnya tetap menafikan dan menyatakan maksud sebagian dari
ifradnya itu.
3) ‘Am
makhsus, yaitu ‘am muthlak yang tidak didampingi oleh qarinah, meniadakan
hal-hal yang ditakhsiskan. Tidak ada qarinah yang menafikan dalilnya terhadap
umum. Misalnya kebanyakan nash yang terdapat padanya sighat umum. Terlepas dari
qarinah-qarinah lafdziah atau aqliah atau harfiah yang menyatakan umum, sebelum
dikemukakan dalil untuk mentakhsisnya. Misalnya, perempuan-perempuan yang
ditalak oleh suaminya harus menunggu (iddah).
Kata
Syaukani dalam memperbedakan antara ‘Am maksudnya khusus dan ‘Am yang
dikhususkan. ‘Am yang dimaksud dengannya khusus yaitu ‘Am yang mendampinginya
ketika mengucapkan kata. Yaitu qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimksudnya
itu adalah khusus. Umpamanya pembicaraan yang dipaksakan berbentuk umum. Yang
dimaksud dengan ‘‘Am di sini adalah khusus dari mereka yang ahli untuk dipaksa
menurut kehendak akal. Tidak termasuk kedalam ini hal ini orang-orang tidak
mukallaf
F. Pengertian AL KHAS
Khas adalah lawan kata dari ‘Am atau dengan kata lain khas adalah lafaz
yang tidak bisa digunakan mengikutsertakan banyak satuannya. Firman allah yang
menetapkan masa tunggu wanita yang hamil sampai dengan kelahiran anaknya ,
merupakan lafaz yang khusus untuk wanita yang demikian itu halnya. Tidak
mencakup selainnya.
Menurut bahasa khash artinya
tertentu, sedangkan menurut istilah ushul fiqih khash ialah lafadz khash
telah mengandung makna yang jelas baik jenis, jumlah, bentuk maupun
ketentuan lainnya. Jika suatu nas mengandung arti khash maka dapat ditetapkan
sebuah hukum yang pasti. Selama tidak terdapat dalil yang mentakwilnya, atau
menghendaki arti lain dari padanya.[9]
Pengertian khas (khusus)
adalah lawan dari pengertian ‘am (umum). Dengan demikian bila telah
memahami pengertian lafazh ‘am secara tidak lansung, juga dapat memahami
pengertian lafazh khas.
Pengertian al-khash menurut para
tokoh-tokoh ushul fiqh adalah sebagai berikut:
a.
Adib Shalih
Mendefenisikan Lafal al-Khash yang
mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang
terbatas.
b.
Abu Zahra
Mendefenisikan Lafal al-Khash dalam
nash syara’, menunjukan kepada pengertianya yang yang khas secara qaht’I
(pasti) dan hukum yang terkandung dikandungya bersifat pasti (qaht’i) selama
tidak ada indikasi yang menunjukan pengertian lain. Pendapat Abu Zahra ini
disepakati oleh para ulama Ushul Fiqh.[10]
c.
Al Amidi
Mendefinisikan al-Khash adalah satu
lafazh yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.
d.
Al Khudahari Beik
Mendefinisikan al-Khash adalah
lafazh yang dari segi kebahasaan ditentukan untuk satu arti secara mandiri.
e.
Abdul Wahhab Abdul Salam Thawilah
Berpendapat bahwa setiap lafal yang
diungkapkan untuk menunjukkan satuan maknawi tertentu.
f.
Abdul Wahhab Khallaf
Mendefinisikan
yaitu lafal yang dipakai untuk menunjukkan seseorang, misalnya Muhammad
atau semacamnya misalnya laki-laki.[11]
Jadi
pengertian al-Khash sendiri adalah suatu lafal yang telah jelas hukum yang
terkandung di dalam nash, baik itu al-Qur’an maupun hadis Nabi sendiri, sebelum
ada dalil yang menghendaki arti lain, hukum yang diambil dari khash ini adalah
pasti (qath’i) bukan zhanny.
G. Macam-Macam
Khas
1. Khash
Syakhshi, seperti nama-nama alam:زيد
بن محمّد
2. Khash
Nuu’, seperti: الإنسان = ialah suatu lafal yang menunjukkan makna
bagi seorang laki-laki yang sudah balig.
3. Khash
Jinsi, seperti: الإنسان= hewan yang berfikir/berbicara.
Itulah hakikatnya.
4. Lafal
yang mempunyai beberapa makna bagi zat.[12]
H. Dilalah
Lafadz
Khash
Para ulama
sepakat bahwa dilalah lafaz khas adalah qathi. Namun mereka berbeda pendapat
dalam sifat keqathiannya itu, apakah lafaz khas yang dipandang qathi dilalahnya
itu sudah jelas dengan sendirinya. Sehingga tidak mempunyai penjelasan lain
atau perubahan makna, ataukah sekalipun lafaz khas itu qathi dilalahnya, tetapi
kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang lain.[13]
Golongan
Hanafiyah mengambil pendapat pertama. Mereka menyatakan, Sesungguhnya lafaz
khas sepanjang telah memilki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan
tegas dengan ketentuan lafaz itu sendiri. Seandainya lafaz khas itu masih
mempunyai kemungkinan peruabahan dengan penjelasan lain, pasti keadaan
penjelasannya itu menetapkan yang sudah tetap atau menolak yang sudah tertolak.
Sedangakan kedaunya ini tidak bisa diterima.
Dari
sikapnya ini dapat ditarik kesimpulan pokok, yaitu:
1.
Mereka menetapkan bahwa
lafaz khas itu tidak memerluka penjelasan lain, sehingga dalam mengambil hukum
dari satu dilalah khas, mereka tidak mengambil hadis hadis yang berhubungan
dengan penjelasan lafaz khas sebagai pembantu untuk penjelasannya, karena menurut
mereka, dilalah khasas itu tidak memerlukan penjelasan lain.
2.
Karena mereka
menyatakan bahwa lafaz khas Al-Qur’an itu qathi dilalahnya dan tidak memerlukan
penjelasan, maka setiap perubahan hukum denga nash lain dipandang sebagai
penghapusan hukum, bukan penjelasan. Oleh sebab itu nasikh harus sama kekuatan
dilalahnya dengan khas yang dihapus dilalahnya ( mansukh). Dengan demikian,
apabila tidak sama kekuatan dilalahnya, maka tidak bisa diterima,
konsekuensinya lafaz khas yang qathi itu tidak bisa dihapus denga hadis ahad.
Golongan Jumhur
ulama, antara lain : Syafiiyah dan Malikiyah mengambil pendapat yang menyatakan
bahwa sekalipun lafaz khas itu dilalahnya qathi, namun tetap mempunyai
kemungkinan perubahan makna soal wadha nya (asal pemasangannya), sehingga
apabila terdapat nash yang mengubah dilalah khas itu, maka ia dipandang
sebagaia penjelasan terhadap lafaz khas itu[14].
Dari
sikap ini dapat diambil kesimpulan yang berbeda, dengan pendapat pertama, yakni
:
1. Nash
khas menerima penjelasan dan perubahan
2. Lafaz
khas Al-Qur’an menurut pandangannya tetap menerima penjelasa dan perubahan.
Maka ia dipandang sebagai lafaz mujmal. Oleh sebab itu, Lafaz khas mungkin saja
berubah melalui penjelasan, sungguhpun penjelasan itu kekuatan dilalahnya dari
segi tsubut lebih rendah dari kekuatan khas itu sendiri, seperti hadis ahad.
Perbedaan pendapat para ulama
tentang kedudukan dilalah khas tersebut berpengaruh tehadap beberapa masalah
fiqh, misalnya pada ruku :
وَارْ كَعُوْا مَعَ الرّاكِعِيْنَ
Artinya: Ruku’lah
bersama orang-orang yang ruku’
Ulama Hanafiyah
memandang bahwa ruku dalam shalat itu bagaimana Lafaz khas untuk suatu
perubahan yang ma’lum, yaitu condong dan berdiri tegak. Mereka menyatakan bahwa
ruku yang diperintahkan pada ayat itu dan merupakan bagian fardhu sholat adalah
condong dan berdiri tegak tanpa tuma’ninah.[15]
Adapun hadis
yang memerintahkan keharusan tuma’ninah adalah:
“Berdirilah dan sholatlah karena engakau
belum sholat.”
Tuma’ninah itu
bukan syarat sah shaolat, menurut mereka seandainya tuma’ninah itu syarat sah
sholat, berarti merupakan penambahan atas lafaz khas Al-Qur’an yang jelas.
Dengan sendirinya hal itu termasuk penambahan khobar ahad. Dan berarti sebagai
khobar nasakh, sedangkan penghapus harus sama kekuatan dilalahnya dari segi
wurud dengan mansukhnya. Padahal hadis ahad itu tidak sama kekuatan khas
Al-Qur’an yang qathi, sehingga mereka tidak mensyaratkan tuma’ninah sebagia
syarat ruku’. Dengan kata lain, mereka tidak menjadikan tuma’ninah sebagai
fardhu. Tegasnya yang fardhu itu rukunnya, bukan tuma’ninahnya.[16]
Golongan
Syafiiyah memandang bahwa lafaz khas itu mempunyai kemungkinan adanya
penjelasan atau perubahan, maka dari segi ini mereka mamandang lafaz khas itu
sebagai lafaz mujmal. Oleh sebab itu mereka menerima kemungkinan adanhya perubahan
atas lafaz khas yang terdapat dalam Al-Qur’an dengan hadis ahad yang merupakan
penjelasannya. Maka menurut golongan ini tuma’ninah yang diisyaratkan oleh
hadis tersebut merupakan penjelasan terhadap ayat Al-Qur’an dan termasuk fardhu
dalam ruku’.[17]
I.
Sifat-Sifat Lafadz Al-Khas
Lafaz khas yang mempunyai banyak bentuk, sesuai dengan
keadaan dan sifat yang dipakai pada lafaz itu sendiri, ia kadang berbentuk
mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang berbentuk
muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang berentuk amr dan kadang berbentuk
nahy. Dengan demikian macam macam lafaz khas mencakup : mutlaq, muqayyad,
amr, dan nahy.[18]
Lafal yang
terdapat pada nash syara’ menunjukkan
satu makna tertentu dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya
itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak
berdasar pada dalil, maka keqath’ian dilalahnya tidak terpengaruhi.[19]
Oleh karena itu,
apabila lafal khash dikemukakan dalam bentuk mutlak, tanpa batasan apapun, maka
lafal itu memberi faedah katetapan hukum secara mutlak, selama tidak ada dalil
yang membatasinya. Dan bila lafal itu dikemukan dalam bentuk perintah, maka ia
memberi faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama
tidak ada dalil yang memalingkannya pada makna yang lain. Demikian juga apabila
lafal itu dikemukan dalam bentuk larangan (nahyi), ia memberikan faedah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang
itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.[20]
J. Kesimpulan
1.
Al ‘am secara etimologi
berarti merata, yang umum. Sedangkan secara terminologi atau istilah, Muhammad
Adib Saleh mendefinisikan bahwa al ‘am adalah lafadz yang diciptakan untuk
pengertian umum sesuai dengan pengertian tiap lafadz itu sendiri tanpa dibatasi
dengan jumlah tertentu.
2.
Para ulama sepakat
bahwa lafaz am yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukan penolakan
adanya takshis adalah qathi dilalah. Merekapun sepakat bahwa lafaz am disertai
qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah
yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat disini ialah lafaz ‘Am yang
mutlaq tanpa disertai suatu qarinah yang menolak kemungkinan adanya takshis,
atau berlaku umum yang mencakup satuan satuannya.
3.
Para
ulama dalam hal ini membagi ‘Am menjadi tiga kategori yaitu : Al ‘Am Al Istighraqy, ‘Am Majmuiy, Al ‘Am Al Badaly.
4.
Menurut bahasa khash artinya
tertentu, sedangkan menurut istilah ushul fiqih khash ialah lafadz khash
telah mengandung makna yang jelas baik jenis, jumlah, bentuk maupun
ketentuan lainnya.
5. AL KHAS terbagi menjadi beberapa bagian yaitu : Khash
Syakhshi, Khash Nuu’, Khash Jinsi,
Lafal
yang mempunyai beberapa makna bagi zat.
6. Para
ulama sepakat bahwa dilalah lafaz khas adalah qathi. Namun mereka berbeda
pendapat dalam sifat keqathiannya itu, apakah lafaz khas yang dipandang qathi
dilalahnya itu sudah jelas dengan sendirinya. Sehingga tidak mempunyai
penjelasan lain atau perubahan makna, ataukah sekalipun lafaz khas itu qathi
dilalahnya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang lain.
7. Lafaz
khas yang mempunyai banyak bentuk,
sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafaz itu sendiri, ia kadang
berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang
berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang berentuk amr dan kadang
berbentuk nahy. Dengan demikian macam macam lafaz khas mencakup : mutlaq,
muqayyad, amr, dan nahy.
K. Saran
Teman-teman
Mahasiswa dan para pembaca yang ingin lebih mengetahui lebih dalam tentang
materi seperti diatas sebaiknya mencari
literatur-literatur/refesensi-referensi yang ada di Internet maupun buku-buku
karena pengetahuan yang kami sampaikan masih sangat sedikit. Dan untuk para
pembaca yang ingin membuat makalah dengan judul serupa sebaiknya lebih baik
lagi mengambil ilmu pengetahuan dari berbagai sumber agar makalah kedepannya
lebih baik dari makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2011. Studi
Ilmu-Ilmu Quran. Bogor: Litera Antar
Nusa
Bogor.
Bakry, Nazar. 1996. Fiqh
dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Didi Al Hafizh. 2015. “Makalah Ushul Fiqh ‘Am Dan Khas” http://pptqamanah.blogspot.co.id/2015/12/makalah-ushul-fiqh-am-dan-khas.html. (Diakses pada tanggal 28
April 2017)
Khalaf, Abdul Wahab. 1993.
Kaidah-Kaidah Hukum Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Khalaf, Abdul Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
M. Zein, Satria
Effendi.
2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
Satria, Efendi. 2009. Ushul Fiqh Cetakan Ke-3. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Shihab, M.
Quraish.2013. Kaidah Tafsir. Tangerang: Lentera Hati.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung :
Cv Pustaka Setia.
Wahid, Mahrus As’ad. A. 2006. Memahami
Fiqih. Bandung : CV Armico.
[1] Satria Effendi, M. Zein,
Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 196.
[2]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 1996), hlm. 184.
[3]Manna’ Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu-Ilmu Quran, (Bogor: Litera Antar Nusa, Bogor, 2011), hlm. 312.
[4]Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada), hlm. 298.
[5]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 194.
[6]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 196.
[7]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 198.
[8]M.
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang:
Lentera Hati, 2013), hlm. 179-183.
[9] Mahrus
As’ad. A. Wahid, Memahami Fiqih, (Bandung : CV Armico,
2006), hlm. 78.
[10] Satria, Efendi, Ushul Fiqh Cetakan Ke-3, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 205.
[11] Abdul, wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2005), hlm. 241.
[12]
Didi Al Hafizh,
“Makalah Ushul Fiqh ‘Am dan Khas, diakses dari http://pptqamanah.blogspot.co.id/2015/12/makalah-ushul-fiqh-am-dan-khas.html, pada tanggal 28 April 2017 pukul 14.30.
[13] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,
(Bandung : Cv
Pustaka Setia, 2010), hlm. 189.
[14]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 190.
[15]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 191.
[16] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 191.
[17]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 192.
[18]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 187-189.
[19] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 187.
[20] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : Cv Pustaka Setia, 2010), hlm. 188.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar