PEMIKIRAN
DAN HIKMAH
FILSAFAT
AL-GHAZALI
Makalah
Diajukan
kepada Dosen Pembina
Dalam
rangka penyelesaian makalah
Mata
kuliah Filsafat Islam
Program
Studi Pendidikan Agama Islam
Oleh
VARSELLA APRILLIAN AMRUL 16 0201 0145
YUSNI YUNUS 16 0201
0150
NUR AIDAH RAHMA 16
0201 0131
Dosen
Pembina
Prof.
Dr. H. M. Said Mahmud, Lc., M.A.
Asgar
Marzuki, S.Pd.I., M.Pd.I.
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALOPO
TAHUN
AJARAN 2017/2018
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah swt. atas berkah
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah Filsafat Islam yang
berjudul Pemikiran Dan Hikmah Filsafat Al-Ghazali.
Terselesaikannya
Makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari beberapa pihak, sehingga
pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Guru kami Prof. Dr. H. M. Said Mahmud, Lc., M.A., dan Asgar Marzuki,
S.Pd.I., M.Pd.I., selaku dosen pembina yang telah memberikan kami kesempatan dalam pembuatan dan penyelesaian makalah ini.
2.
Kedua
Orang Tua kami yang senantiasa
mendukung, menuntun kami dalam hidup ini dengan doa yang tulus.
3.
Teman-teman
mahasiswa/mahasiswi yang selalu memberi semangat dan motifasi untuk kami dalam
penyelesaian Makalah ini.
Penulisan makalah
ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, informasi yang masih kurang, sistematika yang masih kurang baik, masih kurangnya
pengetahuan kami tentang materi. Sehingga
pada kesempatan ini kami juga mengharapkan kritik serta saran dari teman-teman mahasiswa/mahasiswi
dan para pembaca untuk penulisan makalah
yang lebih baik lagi kedepannya.
Semoga
dengan adanya makalah ini teman-teman mahasiswa/mahasiswi serta pembaca bisa menambah pengetahuan dan
semoga kedepannya kita bisa menyelesaikan penulisan karya-karya tulis lain
dengan lebih baik lagi.
Palopo, 23 September 2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah.......................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah.................................................................................... 2
C.
Tujuan Penulisan...................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A.
Perjalanan Karir
Al-Ghazali..................................................................... 4
B.
Pemikiran
Al-Ghazali Tentang Filsafat Islam.......................................... 9
C.
Hikmah Filsafat Al-Ghazali..................................................................... 28
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.............................................................................................. 31
B.
Saran........................................................................................................ 33
DAFTAR
PUSTAKA....................................................................................... 34
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemikiran filosofis
masuk ke dalam Islam melalui falsafah
Yunani
yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Kebudayaan
dan falsafah
Yunani datang ke daerah-daerah itu dengan ekspansi Alexander Yang Agung ke
Timur di abad keempat sebelum Kristus. Politik Alexander untuk menyatukan
kebudayaan Yunani dan Persia meninggalkan bekas besar di daerah-daerah yang pernah
dikuasainya dan kemudian timbullah pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur,
seperti Alexandria di Mesir, Antioch di Suria, Jundisyapur di Mesopotamia dan
Bacra di Persia. al-Qur’an secara tegas
telah memberi kemungkinan bagi pemikiran filosfis. Di dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang
menyuruh manusia untuk menggunakan daya nalarnya dengan menjadikan alam
semesta sebagai obyek pikirannya. Ayat-ayat al-Qur’an itu, disamping mendorong
timbulnya ilmu pengetahuan yang amat berguna buat kemakmuran hidup manusia
juga merangsang munculnya pemikiran filosofis dalam Islam.
Sejarah mencatat bahwa perkembangan
pemikiran dan akal sangatlah cepat, hal ini dapat dilihat dari banyaknya
filosof-filosof yang bermunculan dan mampu memberikan kontribusi positif lewat
karya-karyanya dan banyak dijadikan referensi bagi perkembangan dan kemajuan
pemikiran manusia saat ini.
Dalam perkembangannya tidaklah
sedikit para filosof terutama filosof muslim yang menjadi ikon perubahan dari
zaman ke zamannya, demikian juga dengan al-Ghazali, al-Ghazali dikenal dengan
filosof yang banyak berperan aktif dalam pengembangan warisan intelektual
berupa kekayaan kebudayaan yang tergambar dalam berbagai bidang yang menjadi
titik tolak keberangkatannya dalam menciptakan buah karya-karya beliau yang
luar biasa.
Pemikiran al-Ghazali sedikit
banyaknya telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan
akhlak dikalangan umat muslim, diantaranya mengenai kajian akhlak yang
senantiasa memiliki hubungan dengan kehidupan jiwa karena ia terlebih dahulu
disematkan pada jiwa, hal tersebut menandakan adanya hubungan akhlak dan
kebahagiaan yang merupakan tujuan dari akhlak itu sendiri.
Berkaitan dengan pernyataan di atas,
dalam Pandangan al-Ghazali bahwa tujuan manusia yang benar itu adalah
kebahagiaan ukhrawi, kemudian ia menuturkan bagaimana cara mendapatkan
kebahagian tersebut? kebahagiaan ukhrawi hanya bisa dicapai dengan cara
mengendalikan sifat-sifat manusia dalam perbuatan baik.
B.
Rumusan
Masalah
Kaidah penulisan Makalah tentu memiliki rumusan
masalah. Adapun rumusan masalah dalam penulisan pada Makalah ini adalah :
1.
Siapakah
al-Ghazali dipandang dari nasabnya?
2.
Bagaimanakah
pemikiran al-Ghazali dalam filsafat Islam?
3.
Apa sajakah hikmah yang dapat diperoleh dalam kefilsafatan al-Ghazali?
C.
Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, penulis kiranya dapat
memberikan kontribusi yang terangkai pada tujuan penulisan berikut :
1.
Mengetahui
al-Ghazali dipandang dari nasabnya.
2.
Mengetahui
pemikiran al-Ghazali dalam filsafat Islam.
3.
Mengetahui
hikmah yang dapat diperoleh dari kefilsafatan al-Ghazali.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perjalanan
Karir Al-Ghazali
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid
Muhammad ibnu Ahmad al-Ghazali al-Thusi, al-Ghazali lahir pada tahun 450 H/1058
M di Ghazal, Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Iran, al-Ghazali adalah
keturunan Persia asli. Sebutan al-Ghazali diambil dari kata “Ghazalah” yaitu
nama kampung kelahiran al-Ghazali sendiri. Sebutan tersebut kadang-kadang
diucapkan dengan “Al-Ghazzala” istilah ini berakal dari kata pada “Ghazzal”
yang artinya tukang pemintal benang sebab pekerjaan ayah al-Ghazali adalah
pemintal benang wol.[1]
Al-Ghazali, terlahir, dididik dan dibesarkan seorang
sufi yang shalih yang gemar mempelajari ilmu tasawuf bahkan untuk makan hanya
dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ayah al-Ghazali meninggal
dunia ketika al-Ghazali beserta saudaranya masih kecil. Akan tetapi sebelum
wafat ayah al-Ghazali telah menitipkan kedua anaknya kepada seorang sufi
bernama Ahmad, sahabatnya untuk dididik dan dibimbing dengan baik.[2]
Kehidupan baik al-Ghazali tidak berlangsung
lama, harta warisan yang ditinggalkan ayahnya untuk bekal hidup keduanya itu
habis, sebab Ahmad yang juga seorang sufi menjalani kecenderungan hidup
sufistik yang sangat sederhana tidak memberikan nafkah tambahan kepada
al-Ghazali dan saudaranya, sehingga al-Ghazali dan saudaranya diserahkan ke
suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi muridnya. Di madrasah inilah
al-Ghazali bertemu dengan Yusuf al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan pada masa
itu, dan di sini pula sebagai titik awal bagi perkembangan intelektual dan
spiritual yang kelak membawa al-Ghazali menjadi seorang ulama besar yang
berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam.
Sepeninggalan gurunya, al-Ghazali belajar di
Thus pada seorang ulama yang bernama Ahmad ibnu Muhammad al-Razakanya al-Thusi.
Kemudian meneruskan di Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam al-Juwaini,
sampai akhirnya ulama tersebut wafat tahun 478 H/1085 M. Kemudian al-Ghazali
berkunjung ke Nidzam al-Mulk di kota Mu’askar, dan di sinilah al-Ghazali
mendapat kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga al-Ghazali tinggal di
kota ini selama enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/1090 M, al-Ghazali
diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, selain mengajar al-Ghazali
juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan-golongan
Batiniyah, Ismailiyah, golongan filsafat, dan lain-lain.
Selama waktu itu al-Ghazali tertimpa
keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga akhirnya al-Ghazali
menderita penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat lahiriyah (fisioterapi).
Pekerjaan al-Ghazali kemudian ditinggalkan pada tahun 484 H, kemudian al-Ghazali
menuju Damsyik di kota inilah al-Ghazali merenung, membaca dan menulis, selama
kurang lebih dua tahun dengan tasawuf sebagai jalan hidup al-Ghazali.[3]
Kemudian al-Ghazali pindah ke Palestina dan di
Palestina pun al-Ghazali tetap merenung, membaca dan menulis dengan mengambil
tempat di Masjid Bait-Maqdis. Setelah itu tergeraklah hati al-Ghazali untuk
menjalankan ibadah haji dan setelah selesai al-Ghazali pulang kembali ke negeri
kelahirannya, yaitu kota Thus dan di kota Thus al-Ghazali tetap seperti biasanya,
al-Ghazali tetap berkhalwat dan beribadah. Keadaan tersebut berlangsung sekitar
sepuluh tahun lamanya sejak kepindahan al-Ghazali ke Damsyik, dan dalam masa
ini al-Ghazali menuliskan buku-buku yang terkenal hingga sekarang yaitu Ihya’
‘Ulumuddin.
Setelah sembuh dari penyakit rohaninya,
al-Ghazali kembali memimpin Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Bagdad atas desakan
Perdana Menteri Fakhr al-Mulk, anak Nizam al-Mulk. Setelah Perdana Menteri ini
meninggal karena terbunuh, al-Ghazali kembali ke Thus tempat kelahirannya, dan
di kota ini al-Ghazali membangun sebuah Madrasah khan-kah (semacam tempat praktik suluk) untuk mengajar tasawuf.
Usaha ini al-Ghazali lakukan sampai wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H
bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111 M. Al-Ghazali menghembuskan nafas
terakhirnya dalam usia 55 tahun. Jasad al-Ghazali dikuburkan di sebelah timur
benteng dekat Thabaran berdampingan dengan makam penyair yang terkenal yaitu
al-Firdausy.
Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan Hujjat al-Islam (Argumentasi Islam)
karena pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama kaum
Bathiniyah dan kaum filosof. Karenanya statemen yang dikemukakan
sarjana-sarjana Eropa (juga sebagian orang Islam) bahwa al-Ghazali adalah
Muslim terbesar sesudah nabi Muhammad saw., memperkuat kebesaran nama yang
disandang al-Ghazali.[4]
Sosok al-Ghazali mempunyai keistimewaan yang
luar biasa, al-Ghazali seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya, dan
pengarang yang produktif. Pemaparan yang dikeluarkan al-Ghazali sangat bagus,
gaya bahasanya menarik, dalil yang disajikan dapat dijadikan hujjah. Karya
tulis al-Ghazali meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Buah tangan al-Ghazali
tidak sedikit diahlibahasakan orang ke dalam berbagai bahasa Eropa. Beberapa
warisan karya ilmiah al-Ghazali yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran
umat Islam yaitu :
1.
Ihya’ ulum al-Din, berisikan kumpulan
pokok-pokok agama dan akidah, ibadah, akhlak, dan kaidah-kaidah suluk.
2.
Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, diuraikan di dalamnya
akidah menurut aliran al-Asy’ariyah.
3.
Maqasid al-Falasifah, berisikan ilmu mantiq,
alam, dan ketuhanan.
4.
Tahafut al-Falasifah, berisikan kritikan
terhadap filosof.
5.
Al-Munqiz min al-Dhalal, dipaparkan di dalamnya
seperangkat ilmu yang mewarnai zamannya dan berbagai aliran yang penting. Ilmu
dan aliran-aliran tersebut dikaji al-Ghazali secara kritis, kemudian dijelaskan
kelebihan dan kesalahan-kesalahannya.
6.
Mizan al-‘amal, di dalamnya berisikan
penjelasan tentang akhlak.[5]
Karya ilmiah al-Ghazali tersebut dikelompokkan
sesuai dengan bidangnya, yaitu :
a.
Tasawuf
·
Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), merupakan karyanya yang terkenal
·
Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan)
·
Misykah al-Anwar (The Niche of Lights)
b.
Filsafat
·
Maqasid al-Falasifah
·
Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas
kelemahan-kelemahan para filosof masa itu,
c.
Fiqih
·
Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul
d.
Logika
·
Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge)
·
Al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance)
·
Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in
Logic)
B. Pemikiran
Al-Ghazali Tentang
Filsafat
a. Metafisika
Di
dalam pemikiran filsafat al-Ghazali terdapat empat unsur pemikiran filsafat
yang mempengaruhinya, yaitu :
1. Unsur pemikiran kaum mutakallimin
2. Unsur pemikiran kaum filsafat
3. Unsur pemikiran kaum batiniah, dan
4. Unsur pemikiran kaum sufi.[6]
Menurut al-Ghazali terdapat beberapa buah filosof yang
dipandang tersebut antara lain : Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan mempunyai
substansi dan tidak mempunyai hakikat, Tuhan tidak diberi sifat, planet-planet
adalah bintang yang bergerak dengan kemauan, hukum alam tak dapat berubah, dan
jiwa planet-planet mengetahui semua.
Al-Ghazali
Untuk pertama kalinya mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama
karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, al-Ghazali mengambil kesimpulan
bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam al-Munqidz min al-Dhalal
menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka
disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak
dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan
sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti
kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk
memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Al-Ghazali
pun
menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya
yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya
kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk
memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang
metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan
dengan akidah Islam. Meskipun demikian, al-Ghazali
tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang
lain, seperti logika dan matematika.
Pemikiran
tentang filsafat metafisika menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan
karenanya para filosof dinyatakan kafir.
b. Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam
dan dunia, al-Ghazali
berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata,
tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan.
Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan
undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih
abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang
itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah
mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu
seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia,
terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan
adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan
merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.[7]
Pengikut Aristoteles,
menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas),
sedangkan al-Ghazali
seperti juga al-Asy’ari
berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap
bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat
tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti
membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu
kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak
Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika
dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan
menghilangkan sifat membakar dari api itu atau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim
menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.[8]
c. Etika
Mengenai filsafat etika
al-Ghazali secara
sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain,
filsafat etika al-Ghazali
adalah teori tasawufnya. Mengenai tujuan pokok dari etika al-Ghazali kita temui
pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq
Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya
adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat
ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur,
sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip
Islam, al-Ghazali menganggap
Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan
menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip
filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang
tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia,
dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai
dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam
materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan
berlebihan.
Bagi al-Ghazali, tasawuf bukanlah suatu hal
yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran
yang termuat dalam kitab Ihya’nya
yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang
berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat
kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan
pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.[9]
d. Pandangan Al-Ghazali
terhadap Filsafat
Mengenai pandangan al
Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof, karena ia
menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di lontarkan
al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :
“Sumber
kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar
seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya, mereka
mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan
intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di
bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi, mereka mendengar bahwa para
filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada
dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah
ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan.”
Dari
ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih
tepat digolongkan dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya
didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila
memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai
alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi
jalan menuju Allah swt.
Hal ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum
Ad-din. Dalam buku Tahafut
al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan
pemikiran-pemikiran filsafat.
Al-Ghazali
beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk
menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat.
Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut
sebagai seorang filosof?.[10]
Dalam bukunya pula yang
berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali
mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga) golongan:
1)
Filosof Materialis
(Dhariyyun)
Mereka adalah para
filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada dengan
sendirinya.
2)
Filosof Naturalis
(Thabi’iyyun)
Mereka adalah para filosof yang
melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan
tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka
untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka
tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak
mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
3)
Filosof Ke-Tuhanan
(Ilahiyun)
Mereka adalah filosof
Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah
pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak
dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena
itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina
yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
Di
samping itu al-Ghazali juga telah berpolemik terhadap filsafat pada umumnya
yang tertuang dalam bukunya “Tahafut al
Falasifah”. Di dalam buku tersebut secara umum al-Ghazali menyerang
pendapat-pendapat filsafat Yunani dan Ibnu Sina, al-Ghazali
memandang para filosof sebagai ahl al-Bid’ah dan kafir. Kesalahan
para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut
al-Falasifah, dan al-Ghazali
membaginya menjadi 20 bagian, yaitu :
1)
Membatalkan pendapat
mereka bahwa alam ini azali,
2)
Membatalkan pendapat
mereka bahwa akal ini kekal,
3)
Menjelaskan
keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam
ini diciptakan-Nya,
4)
Menjelaskan kelemahan
mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta,
5)
Menjelaskan kelemahan
mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan,
6)
Membatalkan pendapat
mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat,
7)
Membatalkan pendapat
mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl (diffirentia),
8)
Membatalkan pendapat
mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai
mahiyah (hakikat),
9)
Menjelaskan kelemahan
pendapat mereka bahwa Allah tidak
berjisim,
10)
Menjelaskan pernyataan
mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir),
11)
Menjelaskan kelemahan
pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya
12)
Menjelaskan kelemahan
pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya,
13)
Membatalkan pendapat
mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat,
14)
Menjelaskan pendapat
mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauan-Nya,
15)
Membatalkan apa yang
mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet,
16)
Membatalkan pendapat
mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat,
17)
Membatalkan pendapat
mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum alam,
18)
Menjelaskan pendapat
mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak
mempunyai tubuh,
19)
Menjelaskan pendapat
mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) jiwa manusia,
20)
Membatalkan pendapat
mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan yang akan
menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam nereka hanya roh.[11]
Kemudian
al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang bisa
menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :
a.
Alam
Semesta Dan Semua Substansi Qadim.
Para filosof muslim di
kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama
halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat
dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari para filosof itu adalah tidak
mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan),
karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu
sudah ada, sedangkan alam belum ada.
Menurut al-Ghazali,
bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak pernah ada)
maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi,
paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan
sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran
al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam
(langit, bumi, dan segala isinya).
Bagi al-Ghazali, alam
haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam
tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya
Tuhan.[12]
Al-Ghazali juga
menjawab argumen filosof-filosof mulsim itu. Katanya; tidak ada halangan apa
pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim pada
waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena
memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi
Allah berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak
demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan
tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya,
harus ada suat sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andai kata para filosof
Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai iradah, dapat diberi
nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar istilah tidak
perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.
Sebenarnya perbedaan
yang terjadi pada al-Ghazali dan tentang qadimnya alam hanya sebuah perbedaan
penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Memang filosof Muslim
berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan.
Dari nihil yang kosong, tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang terjadi ialah
sesuatu yang diubah menjadi sesuatu yang lain. Justru itu materi asal
(al-hayula alula), yang darinya alam ini disusun, mesti qadim. Materi asal ini
diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak di batasi oleh zaman.
Oleh karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia qidam
dan azali. Justru itu alam ini qidam pula.
Interprestasi filosof
Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh
ilmu alam, yakni antara sebab dan musabab tidak ada perbedaan. Allah
menciptakan alam semenjak azali, berarti materinya berasal dari energi yang
qadim. Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Agaknya,
interprestasi ini sejalan dengan ilmu fisika modren.[13]
Menurut ilmu fisika
modren, antara energi dan materi tidak bisa lagi ditarik garis pemisah yang
tegas, energi dapat berubah menjadi materi dan materi dapat berubah menjadi
energi. Dengan kata lain, energi ialah materi yang direnggangkan, sedangkan
materi adalah energi yang dipadatkan.
b. Tuhan Tidak Mengetahui
Yang Juz’iyyat (Hal-Hal
Yang Terperinci/Kecil)
Yang Terjadi Di Alam
Sebuah pemahaman bahwa
Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang sifatnya terperinci/kecil),
bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para filosof Muslim. Sedangkan
pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim itu adalah pemahaman yang dianut
oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai
pemahaman bahwa Allah sebagai Tuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya
sendiri dan tidak bisa mengetahui yang selain-Nya.
Pendapat para filosof
Muslim ini di jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa para filosof
itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah sebuah
perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu
berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang
mempunyai ilmu tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi,
bila seseorang berada di sebelah kanan Anda, lalu orang itu berpindah kesebelah
kiri Anda, kemudian berpindah lagi kedepan atau kebelakang, maka yang berubah
adalah orang itu, bukanya Anda. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya
yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya
itu mengalami perubahan.
Untuk memperkuat
argumennya, al-Ghazali mengeluarkan dalil-dalil al-Qur’an yang menyatakan bahwa
Allah Maha Tahu segalanya, baik yang besar atau yang kecil.
Dalil pertama:
$tBur
ãbqä3s? ’Îû 5bù'x© $tBur
(#qè=÷Gs? çm÷ZÏB `ÏB 5b#uäöè% Ÿwur tbqè=yJ÷ès?
ô`ÏB @@yJtã žwÎ)
$¨Zà2
ö/ä3ø‹n=tæ #·Šqåkà
øŒÎ) tbqàÒ‹Ïÿè? Ïm‹Ïù
4 $tBur
Ü>â“÷ètƒ `tã y7Îi/¢‘ `ÏB ÉA$s)÷WÏiB
;o§‘sŒ †Îû ÇÚö‘F{$#
Ÿwur ’Îû Ïä!$yJ¡¡9$# Iwur
ttóô¹r&
`ÏB y7Ï9ºsŒ
Iwur uŽy9ø.r&
žwÎ) ’Îû 5=»tGÏ.
AûüÎ7•B ÇÏÊÈ
Artinya: “Kamu
tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan
kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di
waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar
zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak
(pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh).” (Q.S.
Yunus:61)
Dalil kedua :
ö@è% šcqßJÏk=yèè?r& ©!$# öNà6ÏZƒÏ‰Î/ ª!$#ur ãNn=÷ètƒ $tB ’Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur ’Îû ÇÚö‘F{$# 4 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒO‹Î=tã ÇÊÏÈ
Artinya : “Katakanlah:
“Apakah kamu akan
memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, Padahal Allah mengetahui apa yang
di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?”.” (Q.S. Al-Huujurat : 16)
Dalam ayat di atas jelaslah bahwa Allah
Maha Tahu atas segala sesuatu. berbeda dengan Ibnu Rusyd yang mengatakan Tuhan
hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil (partikular).
Tudingan al-Ghazali ini berbentuk sebuah ucapan seperti di bawah ini :
Yang menjadi persoalan
adalah pernyataan mereka (para filsafat) “Tuhan
yang Maha mulia
mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat
partikular” pernyataan ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-dalil di
atas, ini menunjukkan ketidak
berimanan
mereka. Maka yang benar adalah “tidak
ada sebutir atom pun di langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.”[14]
Kalau dilihat pendapat
Ibnu Rusyd maka akan berlawanan, menurut Ibnu Rusyd; pengetahuan Allah tidak
dapat dikatakan juz’i (parsial) dan kully (umum). Juz’i adalah satuan yang ada
di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan
pancaindera. Kully, mencakup berbagai jenis (nu’). Kully bersifat abstrak,
hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja
pada zat-Nya tidak terdapat pancaindera untuk mengetahui yang parsial. Oleh
karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu
Allah bersifat juz’i dan kully.
c. Pembangkitan Jasmani
Tidak Ada.
Banyak
dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di alam
akhirat adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka dari
itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun kepedihan di
sana yang dapat merasakan adalah rohani. Sedangkan jasmani (jasad) merasakan
kebahagiaan dan kepedihan
hanya saat di dunia saja.
Kesesuaian
suasana rohani maka ketika dibangkitkan nanti saat di akhirat bersifat rohani
pula. Akan tetapi, kebangkitan jasmani tidak sampai ke akhirat atau dikembalikan.
Dalam mengulas alasan-alasan, mereka mengemukakan bahwa pengembalian jasad
memiliki tiga kemungkinan.
Pertama,
manusia terdiri atas badan dan kehidupan, ini sama halnya seperti dikatakan
oleh sebagian ulama kalam, sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya dan yang
mengatur badan tidak ada wujudnya. Pengertian mati berarti terputus hidup,
yakni Tuhan tidak lagi menciptakan hidup, oleh karena itu hidup ini tidak ada,
dan badan tidak ada pula. Jadi, arti kebangkitan adalah bahwa Tuhan mengembalikan
badan yang sudah tidak ada karena mati kepada wujudnya, dan mengembalikan
hidupnya yang sudah tidak ada. Dalam perkataan lain, badan manusia setelah
menjadi tanah dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk manusia dan
diberikan hidup kepadanya.
Kedua,
atau dikatakan bahwa jiwa (roh) manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi badan
yang pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya dikembalikan lagi dengan
anggota-anggota badannya sendiri dengan lengkap.
Ketiga,
atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan, baik badan dengan
anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain samasekali. Jadi, yang
dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya) tidak terpenting,
sedangkan manusia disebut karena jiwanya (rohnya), bukan karena bendanya
(badannya).[15]
Atas
dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil mengembalikan
rohani kepada jasad ketika keduanya telah berpisah. Menurut mereka, setelah
berpisah antara roh dengan jasad, berarti kehidupan telah berakhir dan
tubuh menjadi hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak
sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan qadimnya
suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika diandaikan terjadi
kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan membutuhkan
pemikiran yang panjang, seperti adanya manusia pincang, manusia buta, dan
lainnya. Kalau ini yang terjadi maka di surga nantinya akan ada sidat
kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Sesungguhnya
di surga yang suci tidaklah demikian. Jika demikian terjadilah proses
yang panjang, seperti panjangnya proses kapas hingga menjadi kain.[16]
Menurut
al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi Muhammad saw., tentang kehidupan di
akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja tetapi pada kehidupan
rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia
yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat
rohani-jasmani. Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu,
menurut al-Ghazali, bukanlah kehidupan di surga dan neraka bersifat rohaniah
saja, menurut al-Ghazali adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan
jasad di hari akhirat.
Pemahaman
demikian, menurutnya bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan
al-Hadits, karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan
dibangkitkan itu adalah jasmani. Ini terbukti dengan perkataannya :
“... adalah bertentangan dengan seluruh
keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani
manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang
terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau
hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah.
Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman
yang bersifat spritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara
salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan
mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka
nyatakan itu.”
Dalam
bukunya Tahafut al-Falasifah
al-Ghazali juga mengatakan; banyak hadits yang mengatakan bahwa roh-roh manusia
merasakan adanya kebaikan atau
siksa kubur dan lainnya. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa.
Sedangkan
kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan dalam syara’, yakni
berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain,
atau tubuh yang baru dijadikan. Ini dikarenakan tubuh manusia dapat berganti
bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan seterusnya.
Namun, hal yang terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang dapat
merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala
sesuatu. dan dengan ke Mahakuasaan-Nya tidak
merasa sulit bagi-Nya menjadikan setetes sperma menjadi aneka macam organ
tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf, otot, lemak, dan sebagainya.
Dari hasil ini detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari.
Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang berbeda antara setiap manusia.
Justru itu, Allah jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada badan (jasmani) di
akhirat ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.
Pertentangan antara al-Ghazali dengan
filosof Muslim jika di
kaji secara mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan
Interprestasi karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog
al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085)
pada Universitas Nizhamiyah Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh
aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya
tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim
dipengarhui oleh pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih
liberal dari al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat
nanti ada kebangkitan.[17]
e. Pandangan Al-Ghazali terhadap Ilmu
Ilmu merupakan sumber
kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan bodoh dan tidak
mengetahui arah hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar, al-Ghazali berupaya
membuat sebuah karya-karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang untuk
selalu menggali ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di dalam karya al-Ghazali yang
berjudul Ihya Ulum Ad Din yang
artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini merupakan sebuah karya al-Ghazali
yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama kalam sebagai bahan kajian untuk
amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam buku itu banyak menjelaskan tentang
ilmu-ilmu keagamaan Islam, ke-Esaan Allah, dan ilmu-ilmu yang bersangkutan
dengan syari’at.
Pada karyanya
yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqiz min Ad Dhalal al-Ghazali berpendapat
bahwa :
“Ilmu
hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam,
yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu
lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk
menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu
inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan
lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan
bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa
kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk
mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui
penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi
tasawuf. Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori al-Ijtihad) karena
bertentangan dengan ajaran agama.”
Di lain karyanya yang
berjudul The Juwels of the Qur’an
(mutiara al-Qur’an) dan Mizan Al-Amal
(timbangan amal), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian :
1. Pembagian
ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.
2. Pembagian
pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang
dicapai (hushuli).
3. Pembagian
atas ilmu-ilmu religius (sya’iyyah) dan intelektual (aqliyah).
4. Pembagian
ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in (wajib atas setiap individu) dan fardhu
kifayah (wajib atas umat).
Di antara empat hal
dari klasifikasi ilmu di atas,
yang paling luas di bahas oleh al-Ghazali
dalam melakukan pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu
intelektual dan religius. Namun menurut
al-Ghazali yang jelas keempat sistem klasifikasi di
atas sangat absah, dan mempunyai derajat yang sama.
Pemikiran dari al-Ghazali, maka
akan terlihat pendapatnya yang banyak menentang aliran-aliran filsafat.
Menurutnya banyak orang-orang yang menyimpang dari ajaran agama saat
mempelajari filsafat, karena kebanyakan manusia di saat mempelajari filsafat
tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar yang kuat. Filsafat menurutnya lebih
banyak mengedepankan akal daripada dalil untuk mencari sebuah kebenaran. Oleh
sebab itu, al-Ghazali banyak dikenal oleh para masyarakat seorang ahli tasawuf,
akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang terkenal
saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan
yang dimiliki oleh al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati,
bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak
pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.[18]
C.
Hikmah Filsafat Al-Ghazali
Akibat serangan Al-Ghazali terhadap pemikiran
filsafat sebelumnya, meski tidak sepenuhnya tepat dan benar, respon masyarakat
muslim terhadap filsafat menjadi berkurang, sehingga menyebabkan kelesuan
berfikir dan berijtihad di kalangan umat Islam. Sejak pertengahan abad ke 12
M, hampir semua khazanah intelektual Islam justru selalu menyerang dan
memojokkan filsafat, baik sebagai sebuah pendekatan, metodologi maupun
disiplin keilmuan.
Meski demikian, kajian dan pemikiran filsafat,
sesungguhnya tidak benar-benar hilang oleh serangan al-Ghazali, filsafat Islam
tetap berkembang. Apa yang dianggap sebagai kematian filsafat oleh sebagian
orang hanya terjadi di kalangan sunni, khususnya Asy’ariyah. Pada bagian lain
di dunia Islam, filsafat justru menemukan arah baru dan semakin membumbung
tinggi.
Mengenai serangan al-Ghazali terhadap filsafat,
ada beberapa hal yang parlu dicermati, yaitu:
1.
Bahwa al-Ghazali sesungguhnya
hanya menyerang persoalan metafisik, khususnya metafisika al-Farabi dan Ibnu
Sina yang neo-platonisme, tidak menyerang pemikiran filsafat secara keseluruhan.
Sebab, di bagian lain al Ghazali tetap mengakui pentingnya logika atau epistemologi dalam
pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan dalam al-Mustashfa fi ulum al-fiqh, sebuah
kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat,
yakni burhani untuk melendingkan doktrin dan gagasannya.
2.
Bahwa tuduhan al-Ghazali terhadap
doktrin al-Farabi dan Ibn Sina adalah tidak tepat. Dalam tulisannya,
al-Ghazali menilai bahwa ajaran al-Farabi dan Ibn Sina, juga para filosof lain
yang senada, telah jatuh dalam kekufuran, karena mengajarkan tentang keqadiman
alam, kebangkitan rohani dan ketidaktahuan Tuhan terhadap hal-hal yang partikular
(juziyat). Padahal, kedua tokoh filosof muslim ini sebenarnya tidak menyatakan
persis seperti yang dituduhkan. Tentang keqadiman alam misalnya, apa yang
dimaksudkan dengan qadim adalah karena alam tidak muncul dalam waktu tertentu.
Apa yang disebut sebagai “waktu” atau “zaman” muncul bersamaan dengan alam.
Tidak ada istilah waktu atau zaman sebelum munculnya alam. Kebersamaan alam
dengan waktu, atau tidak didahuluinya alam oleh waktu tertentu inilah yang
dimaksud qadim oleh para filosof, dan keqadiman alam ini tetap tidak sama
dengan keqadiman Tuhan, karena Tuhan qadim bi dzatihi, qadim dengan diri-Nya sendiri tanpa
berhubungan dengan ruang dan waktu atau yang lain. Dengan kata lain, keqadiman
alam hanya berhubungan dengan waktu tetapi ia hadits (temporal) dibanding
keqadiman Tuhan. Di sini telah terjadi salah faham atau perbedaan pengertian
tentang istilah-istilah yang digunakan antara al-Ghazali dengan para filosof
(sebelumnya).
3.
Tentang penilaian al-Ghazali pada
al-Farabi dan Ibnu Sina dalam kaitannya dengan Aristoteles. Dalam al-Munqid, al-Ghazali
membagi filsafat Yunani dalam tiga bagian; materialisme (dahriyun),
natrualisme (thabiiyyun) dan theisme (ilahiyyun). Kelompok materialisme adalah
mereka yang mengingkari Sang Pencipta (Tuhan) seraya menyatakan bahwa semesta
wujud dengan sendirinya. Golongan ini dianggap sebagai tidak beragama. Ini
mungkin ditunjukkan pada para filosof Yunani purba. Golongan naturalisme
adalah mereka yang meyakini kekuatan material dan bahwa apa yang telah mati
tidak akan kembali, sehingga tidak ada hari kebangkitan dan pembalasan. Ini
ditujukan pada tokoh seperti Demokritos dan para filosof Ionia yang hanya
meyakini eksistensi material. Kelompok theisme adalah para filosof yang lebih
modern yang meyakini Sang Pencipta, seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan
menurut al-Ghazali al-Farabi serta Ibn Sina sebagai pengikutnya.
4.
Dalam kitab “Tarikh Falasifah Al Islam fil Masyriq wal Maghrib” Muhammad Luthfi mengemukakan: “Sesungguhnya sebagian ahli filsafat,
seperti Ibnu Rusyd tidaklah yakin kalau al-Ghazali serius dalam kritikannya,
sesungguhnya perbedaan antara dia dan para filsafat hanyalah pada batas-batas
tertentu, sesungguhnya dia mencela mereka dalam ha-hal tertentu hanya untuk
memperkuat ahli sunnah”. Musa bin Narbur menyebutkan: “Sesungguhnya setelah menulis kitab At Tahafut,
al-Ghazali kemudian menulis risalah kecil yang hanya diketahui oleh
orang-orang dekat saja, yang berisi penolakan kepada apa yang dikemukakan
mengenai kritikan kepada dasar-dasar filsafat”.[19]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Al-Ghazali memiliki nama
lengkap Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad al-Ghazali al-Thusi, al-Ghazali lahir
pada tahun 450 H/ 1058 M di Ghazal Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam
Iran. Ayah al-Ghazali adalah seorang sufi yang gemar mempelajari ilmu tasawuf,
bahkan ayah al-Ghazali hanya mau makan dari usaha tangan menenun wol.
Al-Ghazali merupakan sosok yang sangat istimewa, al-Ghazali dikenal sebagai
seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya, dan pengarang yang
produktif. Al-Ghazali diberi gelar kehormatan yaitu Hujjat al-Islam (Argumentasi Islam). Al-Ghazali dalam hidupnya
telah menempuh berbagai jalan dan meneliti
berbagai mazhab; dimulai sebagai seorang ahli hukum Islam, berbalik menjadi
seorang teologi Muslim, berpindah filosof Muslim, dan berakhir sebagai seorang
sufi. Karya-karya al-Ghazali banyak dijadikan disiplin ilmu dan tidak sedikit
diahlibahasakan kedalam bahasa Eropa.
Pemikiran tentang
filsafat metafisika menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan
karenanya para filosof dinyatakan kafir.
Filsafat etika al-Ghazali sendiri adalah teori
tasawufnya. Terlihat dari
semboyan tasawuf al-Ghazali yang
terkenal yaitu “Al-Takhalluq Bi
Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah
al-Basyariyah”. Para ilmuwan banyak yang berpendapat
bahwa al-Ghazali bukanlah seorang filosof, ini disebabkan karena pendapat al-Ghazali yang
menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya dalam buku yang al-Ghazali tulis yang berjudul Tahafut al-Falasifah dalam bukunya itu al-Ghazali secara umum menyerang
pendapat-pendapat filsafat Yunani dan Ibnu Sina, al-Ghazali
memandang para filosof sebagai ahl al-Bid’ah dan kafir. Pertentangan antara
al-Ghazali dengan filosof Muslim merupakan
sebuah
perbedaan Interprestasi karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang
teolog al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun tentu
saja pemikiran al-Ghazali banyak dipengaruhi
oleh aliran ini.
Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengaruhi oleh pemikiran
rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Al-Ghazali dikenal oleh para
masyarakat sebagai seorang
ahli tasawuf, al-Ghazali
tidak melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni
tasawuf inkarnasi dan tasawuf pantheisme
melainkan pengetahuan yang dimiliki oleh
al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air
yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil
argumen-argumen ilmu kalam.
Al-Ghazali
bukanlah seperti yang digambarkan oleh sebagian orang terutama oleh para orientalis barat,
dimana mereka memahami al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran berfikir bagi
umat Islam atau dianggap sebagai pelopor faham skeptis. Kritikan bahkan
serangan al-Ghazali terhadap filsafat tidaklah berarti al-Ghazali anti
terhadap filsafat, tetapi lebih pada menempatkan filsafat tepat pada
posisinya. Kemunduran (matinya)
pemikiran filsafat sesungguhnya bukan karena al-Ghazali, sebab kemunduran
pemikiran filsafat hanya terjadi di Dunia Islam Timur Sunni karena disebabkan
oleh pengaruh ajaran tarikah tasawuf dan mengakarnya aliran al-Asy’ary.
Sementara di Dunia Islam Timur, perkembangan pemikiran filsafat tetap berjalan
dengan baik karena pengaruh aliran Mu’tazilah.
B.
Saran
Makalah
yang memuat pembahasan tentang filsafat
al-Ghazali ini sangatlah jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik sangat
kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Kedepannya kami akan lebih fokus dan
detail dalam menjelaskan materi ini dengan
berbagai sumber referensi yang lebih banyak yang tentunya dapat
dimanfaatkan dan dipertanggung jawabkan. Semoga makalah ini dapat berguna bagi
kami pada khususnya, dan pembaca pada umumnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
M. Amin. 1996. Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Mustofa,
A. 1999. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Poerwantana, dkk. 1988.
Seluk Beluk
Filsafat Islam. Bandung:
CV Rosda.
Saputra19. 2011. “Perkembangan Filsafat Pasca
Al-Ghazali”. https://saputra19.wordpress.com/2011/07/25/perkembangan-filsafat-pasca-al-ghazali/html.
Dikutip pada tanggal 27 Oktober 2017.
Sudarsono. 2004. Filsafat
Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Supriyadi
Dedi, 2009. Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia.
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam: Filosof &
Filsafatnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1]Prof. Dr.
H. Sirajuddin Zar, M.A., Filsafat
Islam: Filosof & Filsafatnya,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 155.
[2]Ahmad
Hanafi, Pengantar Filsafat Islam,
(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990), hlm.135.
[3]Ibid
[4]Prof. Dr.
H. Sirajuddin Zar, M.A., op. cit.,
hlm. 158.
[5]Prof. Dr.
H. Sirajuddin Zar, M.A., op. cit.,
hlm. 159.
[6]Drs.
Sudarsono, SH. M.Si, Filsafat Islam,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), Cetakan
Kedua, hlm. 70.
[7]Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV Rosda, 1988), hlm. 172.
[8] Prof.
Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., op. cit.,
hlm. 176.
[9]M. Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm. 280.
[10]A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
1999), hlm.
215.
[11]Prof. Dr.
H. Sirajuddin Zar, M.A., op. cit.,
hlm. 162.
[12]Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan
Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm.162.
[13]Prof. Dr.
H. Sirajuddin Zar, M.A., op. cit.,
hlm. 167.
[14]Dedi Supriyadi, op. cit., hlm. 171.
[15]A. Mustofa, op. cit., hlm.
237-238.
[16] Dedi Supriyadi, op. cit.,
hlm. 172.
[17] Dedi Supriyadi, op. cit., hlm.
173.
[18]A. Mustofa, op. cit.., hlm. 237-238.
[19]Saputra19,
“Perkembangan Filsafat Pasca Al-Ghazali”, Dikutip dari https://saputra19.wordpress.com/2011/07/25/perkembangan-filsafat-pasca-al-ghazali/html, pada tanggal 27 Oktober 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar