Senin, 19 Maret 2018

Makalah Filsafat Islam "PEMIKIRAN DAN HIKMAH FILSAFAT AL-GHAZALI"

PEMIKIRAN DAN HIKMAH
FILSAFAT AL-GHAZALI

Makalah
Diajukan kepada Dosen Pembina
Dalam rangka penyelesaian makalah
Mata kuliah Filsafat Islam
Program Studi Pendidikan Agama Islam


 













Oleh
VARSELLA APRILLIAN AMRUL                                   16 0201 0145
YUSNI YUNUS                                                          16 0201 0150
NUR AIDAH RAHMA                                             16 0201 0131


Dosen Pembina
Prof. Dr. H. M. Said Mahmud, Lc., M.A.
Asgar Marzuki, S.Pd.I., M.Pd.I.



INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALOPO

TAHUN AJARAN 2017/2018

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah swt. atas berkah dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah Filsafat Islam yang berjudul Pemikiran Dan Hikmah Filsafat Al-Ghazali.
Terselesaikannya Makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari beberapa pihak, sehingga pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1.         Guru kami Prof. Dr. H. M. Said Mahmud, Lc., M.A., dan Asgar Marzuki, S.Pd.I., M.Pd.I., selaku dosen pembina yang telah memberikan kami kesempatan dalam pembuatan dan penyelesaian makalah ini.
2.         Kedua Orang Tua kami yang senantiasa mendukung, menuntun kami dalam hidup ini dengan doa yang tulus.
3.         Teman-teman mahasiswa/mahasiswi yang selalu memberi semangat dan motifasi untuk kami dalam penyelesaian Makalah ini.
Penulisan makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, informasi yang masih kurang, sistematika yang masih kurang baik, masih kurangnya pengetahuan kami tentang materi. Sehingga pada kesempatan ini kami juga mengharapkan kritik serta saran dari teman-teman mahasiswa/mahasiswi dan para pembaca untuk penulisan makalah yang lebih baik lagi kedepannya.
Semoga dengan adanya makalah ini teman-teman mahasiswa/mahasiswi  serta pembaca bisa menambah pengetahuan dan semoga kedepannya kita bisa menyelesaikan penulisan karya-karya tulis lain dengan lebih baik lagi.

Palopo, 23 September 2017
             

Penyusun















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
B.        Rumusan Masalah.................................................................................... 2
C.        Tujuan Penulisan...................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN
A.       Perjalanan Karir Al-Ghazali..................................................................... 4
B.        Pemikiran Al-Ghazali Tentang Filsafat Islam.......................................... 9
C.        Hikmah Filsafat Al-Ghazali..................................................................... 28

BAB III PENUTUP
A.       Kesimpulan.............................................................................................. 31
B.        Saran........................................................................................................ 33

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 34

BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah
Pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui falsafah Yunani yang ‎dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. ‎Kebudayaan dan falsafah Yunani datang ke daerah-daerah itu dengan ekspansi ‎Alexander Yang Agung ke Timur di abad keempat sebelum Kristus. Politik ‎Alexander untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia meninggalkan bekas ‎besar di daerah-daerah yang pernah dikuasainya dan kemudian timbullah pusat-‎pusat kebudayaan Yunani di Timur, seperti Alexandria di Mesir, Antioch di Suria, ‎Jundisyapur di Mesopotamia dan Bacra di Persia.‎ al-Qur’an secara tegas telah memberi kemungkinan bagi pemikiran filosfis. Di dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang menyuruh manusia untuk ‎menggunakan daya nalarnya dengan menjadikan alam semesta sebagai obyek ‎pikirannya. Ayat-ayat al-Qur’an itu, disamping mendorong timbulnya ilmu ‎pengetahuan yang amat berguna buat kemakmuran hidup manusia juga ‎merangsang munculnya pemikiran filosofis dalam Islam.
Sejarah mencatat bahwa perkembangan pemikiran dan akal sangatlah cepat, hal ini dapat dilihat dari banyaknya filosof-filosof yang bermunculan dan mampu memberikan kontribusi positif lewat karya-karyanya dan banyak dijadikan referensi bagi perkembangan dan kemajuan pemikiran manusia saat ini.
Dalam perkembangannya tidaklah sedikit para filosof terutama filosof muslim yang menjadi ikon perubahan dari zaman ke zamannya, demikian juga dengan al-Ghazali, al-Ghazali dikenal dengan filosof yang banyak berperan aktif dalam pengembangan warisan intelektual berupa kekayaan kebudayaan yang tergambar dalam berbagai bidang yang menjadi titik tolak keberangkatannya dalam menciptakan buah karya-karya beliau yang luar biasa.
Pemikiran al-Ghazali sedikit banyaknya telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan akhlak dikalangan umat muslim,  diantaranya mengenai kajian akhlak yang senantiasa memiliki hubungan dengan kehidupan jiwa karena ia terlebih dahulu disematkan pada jiwa, hal tersebut menandakan adanya hubungan akhlak dan kebahagiaan yang merupakan tujuan dari akhlak itu sendiri.
Berkaitan dengan pernyataan di atas, dalam Pandangan al-Ghazali bahwa tujuan manusia yang benar itu adalah kebahagiaan ukhrawi, kemudian ia menuturkan bagaimana cara mendapatkan kebahagian tersebut? kebahagiaan ukhrawi hanya bisa dicapai dengan cara mengendalikan sifat-sifat manusia dalam perbuatan baik.

B.        Rumusan Masalah
Kaidah penulisan Makalah tentu memiliki rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penulisan pada Makalah  ini adalah :
1.      Siapakah al-Ghazali dipandang dari nasabnya?
2.      Bagaimanakah pemikiran al-Ghazali dalam filsafat Islam?
3.      Apa sajakah hikmah yang dapat diperoleh dalam kefilsafatan al-Ghazali?

C.       Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, penulis kiranya dapat memberikan kontribusi yang terangkai pada tujuan penulisan berikut :
1.      Mengetahui al-Ghazali dipandang dari nasabnya.
2.      Mengetahui pemikiran al-Ghazali dalam filsafat Islam.
3.      Mengetahui hikmah yang dapat diperoleh dari kefilsafatan al-Ghazali.















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perjalanan Karir Al-Ghazali
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad al-Ghazali al-Thusi, al-Ghazali lahir pada tahun 450 H/1058 M di Ghazal, Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Iran, al-Ghazali adalah keturunan Persia asli. Sebutan al-Ghazali diambil dari kata “Ghazalah” yaitu nama kampung kelahiran al-Ghazali sendiri. Sebutan tersebut kadang-kadang diucapkan dengan “Al-Ghazzala” istilah ini berakal dari kata pada “Ghazzal” yang artinya tukang pemintal benang sebab pekerjaan ayah al-Ghazali adalah pemintal benang wol.[1]
Al-Ghazali, terlahir, dididik dan dibesarkan seorang sufi yang shalih yang gemar mempelajari ilmu tasawuf bahkan untuk makan hanya dari hasil usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ayah al-Ghazali meninggal dunia ketika al-Ghazali beserta saudaranya masih kecil. Akan tetapi sebelum wafat ayah al-Ghazali telah menitipkan kedua anaknya kepada seorang sufi bernama Ahmad, sahabatnya untuk dididik dan dibimbing dengan baik.[2]
Kehidupan baik al-Ghazali tidak berlangsung lama, harta warisan yang ditinggalkan ayahnya untuk bekal hidup keduanya itu habis, sebab Ahmad yang juga seorang sufi menjalani kecenderungan hidup sufistik yang sangat sederhana tidak memberikan nafkah tambahan kepada al-Ghazali dan saudaranya, sehingga al-Ghazali dan saudaranya diserahkan ke suatu madrasah yang menyediakan biaya hidup bagi muridnya. Di madrasah inilah al-Ghazali bertemu dengan Yusuf al-Nassaj, seorang guru sufi kenamaan pada masa itu, dan di sini pula sebagai titik awal bagi perkembangan intelektual dan spiritual yang kelak membawa al-Ghazali menjadi seorang ulama besar yang berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam.
Sepeninggalan gurunya, al-Ghazali belajar di Thus pada seorang ulama yang bernama Ahmad ibnu Muhammad al-Razakanya al-Thusi. Kemudian meneruskan di Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada Imam al-Juwaini, sampai akhirnya ulama tersebut wafat tahun 478 H/1085 M. Kemudian al-Ghazali berkunjung ke Nidzam al-Mulk di kota Mu’askar, dan di sinilah al-Ghazali mendapat kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga al-Ghazali tinggal di kota ini selama enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/1090 M, al-Ghazali diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, selain mengajar al-Ghazali juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan-golongan Batiniyah, Ismailiyah, golongan filsafat, dan lain-lain.
Selama waktu itu al-Ghazali tertimpa keragu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga akhirnya al-Ghazali menderita penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat lahiriyah (fisioterapi). Pekerjaan al-Ghazali kemudian ditinggalkan pada tahun 484 H, kemudian al-Ghazali menuju Damsyik di kota inilah al-Ghazali merenung, membaca dan menulis, selama kurang lebih dua tahun dengan tasawuf sebagai jalan hidup al-Ghazali.[3]
Kemudian al-Ghazali pindah ke Palestina dan di Palestina pun al-Ghazali tetap merenung, membaca dan menulis dengan mengambil tempat di Masjid Bait-Maqdis. Setelah itu tergeraklah hati al-Ghazali untuk menjalankan ibadah haji dan setelah selesai al-Ghazali pulang kembali ke negeri kelahirannya, yaitu kota Thus dan di kota Thus al-Ghazali tetap seperti biasanya, al-Ghazali tetap berkhalwat dan beribadah. Keadaan tersebut berlangsung sekitar sepuluh tahun lamanya sejak kepindahan al-Ghazali ke Damsyik, dan dalam masa ini al-Ghazali menuliskan buku-buku yang terkenal hingga sekarang yaitu Ihya’ ‘Ulumuddin.
Setelah sembuh dari penyakit rohaninya, al-Ghazali kembali memimpin Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Bagdad atas desakan Perdana Menteri Fakhr al-Mulk, anak Nizam al-Mulk. Setelah Perdana Menteri ini meninggal karena terbunuh, al-Ghazali kembali ke Thus tempat kelahirannya, dan di kota ini al-Ghazali membangun sebuah Madrasah khan-kah (semacam tempat praktik suluk) untuk mengajar tasawuf. Usaha ini al-Ghazali lakukan sampai wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H bertepatan dengan tanggal 18 Desember 1111 M. Al-Ghazali menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 55 tahun. Jasad al-Ghazali dikuburkan di sebelah timur benteng dekat Thabaran berdampingan dengan makam penyair yang terkenal yaitu al-Firdausy.
Al-Ghazali diberi gelar kehormatan dengan Hujjat al-Islam (Argumentasi Islam) karena pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama kaum Bathiniyah dan kaum filosof. Karenanya statemen yang dikemukakan sarjana-sarjana Eropa (juga sebagian orang Islam) bahwa al-Ghazali adalah Muslim terbesar sesudah nabi Muhammad saw., memperkuat kebesaran nama yang disandang al-Ghazali.[4]
Sosok al-Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa, al-Ghazali seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya, dan pengarang yang produktif. Pemaparan yang dikeluarkan al-Ghazali sangat bagus, gaya bahasanya menarik, dalil yang disajikan dapat dijadikan hujjah. Karya tulis al-Ghazali meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Buah tangan al-Ghazali tidak sedikit diahlibahasakan orang ke dalam berbagai bahasa Eropa. Beberapa warisan karya ilmiah al-Ghazali yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam yaitu :
1.      Ihya’ ulum al-Din, berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan akidah, ibadah, akhlak, dan kaidah-kaidah suluk.
2.      Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, diuraikan di dalamnya akidah menurut aliran al-Asy’ariyah.
3.      Maqasid al-Falasifah, berisikan ilmu mantiq, alam, dan ketuhanan.
4.      Tahafut al-Falasifah, berisikan kritikan terhadap filosof.
5.      Al-Munqiz min al-Dhalal, dipaparkan di dalamnya seperangkat ilmu yang mewarnai zamannya dan berbagai aliran yang penting. Ilmu dan aliran-aliran tersebut dikaji al-Ghazali secara kritis, kemudian dijelaskan kelebihan dan kesalahan-kesalahannya.
6.      Mizan al-‘amal, di dalamnya berisikan penjelasan tentang akhlak.[5]
Karya ilmiah al-Ghazali tersebut dikelompokkan sesuai dengan bidangnya, yaitu :
a.       Tasawuf
·      Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), merupakan karyanya yang terkenal
·      Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan)
·      Misykah al-Anwar (The Niche of Lights)
b.      Filsafat
·      Maqasid al-Falasifah
·      Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu,
c.       Fiqih
·      Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul
d.      Logika
·      Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge)
·      Al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance)
·      Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic)


B.     Pemikiran Al-Ghazali Tentang Filsafat
a.      Metafisika
Di dalam pemikiran filsafat al-Ghazali terdapat empat unsur pemikiran filsafat yang mempengaruhinya, yaitu :
1.      Unsur pemikiran kaum mutakallimin
2.      Unsur pemikiran kaum filsafat
3.      Unsur pemikiran kaum batiniah, dan
4.      Unsur pemikiran kaum sufi.[6]
Menurut al-Ghazali terdapat beberapa buah filosof yang dipandang tersebut antara lain : Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan mempunyai substansi dan tidak mempunyai hakikat, Tuhan tidak diberi sifat, planet-planet adalah bintang yang bergerak dengan kemauan, hukum alam tak dapat berubah, dan jiwa planet-planet mengetahui semua.
Al-Ghazali Untuk pertama kalinya mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, al-Ghazali mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Al-Ghazali pun menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah Islam. Meskipun demikian, al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.
Pemikiran tentang filsafat metafisika menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir.

b.      Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.[7]
Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum kausalitas), sedangkan al-Ghazali seperti juga al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api itu atau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.[8]

c.       Etika
Mengenai filsafat etika al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika al-Ghazali adalah teori tasawufnya. Mengenai tujuan pokok dari etika al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagi al-Ghazali, tasawuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya.[9]

d.      Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat
Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :
“Sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya, mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi, mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan.”
Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa al-Ghazali lebih tepat digolongkan dalam kelompok pembangunan agama yang jalan pemikirannya didasarkan pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits. Apabila memakai sumber lain dari Islam maka sumber-sumber ini hanya dijadikan sebagai alat untuk maksud menghidupkan ajaran-ajaran agama dan untuk membantu menerangi jalan menuju Allah swt. Hal ini dikuatkan dengan kitabnya Ihya’Ulum Ad-din. Dalam buku Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga diterangkan tentang keremehan pemikiran-pemikiran filsafat.
Al-Ghazali beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat. Dari sinilah, apakah tepat orang yang menetapkan kegagalan filsafat disebut sebagai seorang filosof?.[10]
Dalam bukunya pula yang berjudul Munqiz min al-Dhalal, al-Ghazali mengelompokkan filsosof menjadi 3 (tiga) golongan:
1)      Filosof Materialis (Dhariyyun)
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos ini ada dengan sendirinya.
2)      Filosof Naturalis (Thabi’iyyun)
Mereka adalah para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini. Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan keajaiban-keajaiban dan memaksa mereka untuk mengakui adanya Maha Pencipta di alam raya ini. Kendatipun demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari berbangkit. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
3)      Filosof Ke-Tuhanan (Ilahiyun)
Mereka adalah filosof Yunani, sperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah menyanggah pemikiran filosof sebelumnya (Materialis dan Naturalis), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sia-sia kekafiran dan keherodoksian. Oleh karena itu, ia sendiri termasuk orang kafir dan begitu juga al-Farabi dan Ibnu Sina yang menyebarluaskan pemikiran ini di dunia Islam.
Di samping itu al-Ghazali juga telah berpolemik terhadap filsafat pada umumnya yang tertuang dalam bukunya “Tahafut al Falasifah”. Di dalam buku tersebut secara umum al-Ghazali menyerang pendapat-pendapat filsafat Yunani dan Ibnu Sina, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-Bid’ah dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut diterangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, dan al-Ghazali membaginya menjadi 20 bagian, yaitu :
1)         Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini azali,
2)         Membatalkan pendapat mereka bahwa akal ini kekal,
3)         Menjelaskan keragu-raguan mereka bahwa Allah Pencipta alam semesta dan sesungguhnya alam ini diciptakan-Nya,
4)         Menjelaskan kelemahan mereka dalam membuktikan Yang Maha Pencipta,
5)         Menjelaskan kelemahan mereka dalam menetapkan dalil bahwa mustahil adanya dua Tuhan,
6)         Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mempunyai sifat,
7)         Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak terbagi ke dalam al-jins dan al-fashl (diffirentia),
8)         Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah mempunyai substansi basith (simple) dan tidak mempunyai mahiyah (hakikat),
9)         Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah tidak berjisim,
10)     Menjelaskan pernyataan mereka tentang al-dhar (kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir),
11)     Menjelaskan kelemahan pendapat mereka bahwa Allah mengetahui yang selain-Nya
12)     Menjelaskan kelemahan pendapat mereka dalam membuktikan bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya,
13)     Membatalkan pendapat mereka bahwa Allah tidak mengetahui juz’iyyat,
14)     Menjelaskan pendapat mereka bahwa planet-planet adalah hewan yang bergerak dengan kemauan-Nya,
15)     Membatalkan apa yang mereka sebutkan tentang tujuan penggerak dari planet-planet,
16)     Membatalkan pendapat mereka bahwa planet-planet mengetahui semua yang juz’iyyat,
17)     Membatalkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa mustahil terjadinya sesuatu di luar hukum alam,
18)     Menjelaskan pendapat mereka bahwa roh manusia adalah jauhar (substansi) yang berdiri sendiri tidak mempunyai tubuh,
19)     Menjelaskan pendapat mereka yang menyatakan tentang mustahilnya fana (lenyap) jiwa manusia,
20)     Membatalkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa tubuh tidak akan dibangkitkan dan yang akan menerima kesenangan dalam surga dan kepedihan dalam nereka hanya roh.[11]
Kemudian al-Ghazali menjelaskan lagi, dari 20 masalah tersebut ada tiga hal yang bisa menyebabkan seorang filosof itu menjadi kafir, antara lain :
a.      Alam Semesta Dan Semua Substansi Qadim.
Para filosof muslim di kala itu mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Alasan dari para filosof itu adalah tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada.
Menurut al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak mempunyai permulaan atau tidak pernah ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadimnya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak diciptakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).
Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya Tuhan.[12]
Al-Ghazali juga menjawab argumen filosof-filosof mulsim itu. Katanya; tidak ada halangan apa pun bagi Allah menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya yang qadim pada waktu diadakan-Nya. Sementara itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena memang belum dikehendaki-Nya. Iradah menurut al-Ghazali adalah suatu sifat bagi Allah berfungsi membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi, karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya sama kedudukannya, harus ada suat sifat khusus yang membedakannya, yaitu sifat iradah. Andai kata para filosof Muslim menganggap sifat tersebut tidak tepat disebut sebagai iradah, dapat diberi nama lain asal itu yang dimaksud atau dengan arti sama. Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang penting adalah isinya.
Sebenarnya perbedaan yang terjadi pada al-Ghazali dan tentang qadimnya alam hanya sebuah perbedaan penafsiran antara teolog Muslim dan filosof Muslim. Memang filosof Muslim berkeyakinan bahwa penciptaan dari tiada (nihil) adalah suatu kemustahilan. Dari nihil yang kosong, tidak bisa timbul sesuatu. Hal yang terjadi ialah sesuatu yang diubah menjadi sesuatu yang lain. Justru itu materi asal (al-hayula alula), yang darinya alam ini disusun, mesti qadim. Materi asal ini diciptakan Allah secara emanasi sejak qadim dan tidak di batasi oleh zaman. Oleh karena itu, apa yang diciptakan semenjak qidam dan azali tentu ia qidam dan azali. Justru itu alam ini qidam pula.
Interprestasi filosof Muslim ini sudah jelas lebih liberal dari teolog Muslim dan juga dipengaruhi oleh ilmu alam, yakni antara sebab dan musabab tidak ada perbedaan. Allah menciptakan alam semenjak azali, berarti materinya berasal dari energi yang qadim. Sementara susunan materi yang menjadi alam adalah baru. Agaknya, interprestasi ini sejalan dengan ilmu fisika modren.[13]
Menurut ilmu fisika modren, antara energi dan materi tidak bisa lagi ditarik garis pemisah yang tegas, energi dapat berubah menjadi materi dan materi dapat berubah menjadi energi. Dengan kata lain, energi ialah materi yang direnggangkan, sedangkan materi adalah energi yang dipadatkan.

b.      Tuhan Tidak Mengetahui Yang Juz’iyyat (Hal-Hal Yang Terperinci/Kecil) Yang Terjadi Di Alam
Sebuah pemahaman bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal-hal yang sifatnya terperinci/kecil), bukanlah sebuah pemahaman yang dianut oleh para filosof Muslim. Sedangkan pemahaman yang banyak digunakan filosof Muslim itu adalah pemahaman yang dianut oleh Aristoteles. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah sebagai Tuhan umat Muslim hanya mengetahui zat-Nya sendiri dan tidak bisa mengetahui yang selain-Nya.
Pendapat para filosof Muslim ini di jawab oleh al-Ghazali. Al-Ghazali mengatakan bahwa para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut adalah sebuah perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan Anda, lalu orang itu berpindah kesebelah kiri Anda, kemudian berpindah lagi kedepan atau kebelakang, maka yang berubah adalah orang itu, bukanya Anda. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan.
Untuk memperkuat argumennya, al-Ghazali mengeluarkan dalil-dalil al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah Maha Tahu segalanya, baik yang besar atau yang kecil.

Dalil pertama:
$tBur ãbqä3s? Îû 5bù'x© $tBur (#qè=÷Gs? çm÷ZÏB `ÏB 5b#uäöè% Ÿwur tbqè=yJ÷ès? ô`ÏB @@yJtã žwÎ) $¨Zà2 ö/ä3øn=tæ #·Šqåkà­ øŒÎ) tbqàÒÏÿè? ÏmÏù 4 $tBur Ü>â÷ètƒ `tã y7Îi/¢ `ÏB ÉA$s)÷WÏiB ;o§sŒ Îû ÇÚöF{$# Ÿwur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# Iwur ttóô¹r& `ÏB y7Ï9ºsŒ Iwur uŽy9ø.r& žwÎ) Îû 5=»tGÏ. AûüÎ7B ÇÏÊÈ  
Artinya: “Kamu tidak berada dalam suatu Keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Q.S. Yunus:61)
Dalil kedua :
ö@è% šcqßJÏk=yèè?r& ©!$# öNà6ÏZƒÏÎ/ ª!$#ur ãNn=÷ètƒ $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ÒOÎ=tã ÇÊÏÈ  
Artinya : “Katakanlah: Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, Padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?”.” (Q.S. Al-Huujurat : 16)
Dalam ayat di atas jelaslah bahwa Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. berbeda dengan Ibnu Rusyd yang mengatakan Tuhan hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil (partikular).  Tudingan al-Ghazali ini berbentuk sebuah ucapan seperti di bawah ini :
Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka (para filsafat) Tuhan yang Maha mulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikular” pernyataan ini jelas-jelas telah menyelewengkan dalil-dalil di atas, ini menunjukkan ketidak berimanan mereka. Maka yang benar adalah tidak ada sebutir atom pun di langit maupun di bumi yang luput dari pengetahuan-Nya.”[14]
Kalau dilihat pendapat Ibnu Rusyd maka akan berlawanan, menurut Ibnu Rusyd; pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz’i (parsial) dan kully (umum). Juz’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan pancaindera. Kully, mencakup berbagai jenis (nu’). Kully bersifat abstrak, hanya dapat diketahui melalui akal. Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindera untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itu, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz’i dan kully.
c.       Pembangkitan Jasmani Tidak Ada.
Banyak dari para filosof berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan nantinya di alam akhirat adalah rohani semata, sedangkan jasmani (jasad) akan hancur. Maka dari itu, ketika di akhirat nanti, tentang adanya kebahagiaan ataupun kepedihan di sana yang dapat merasakan adalah rohani. Sedangkan jasmani (jasad) merasakan kebahagiaan dan kepedihan hanya saat di dunia saja.
Kesesuaian suasana rohani maka ketika dibangkitkan nanti saat di akhirat bersifat rohani pula. Akan tetapi, kebangkitan jasmani tidak sampai ke akhirat atau dikembalikan. Dalam mengulas alasan-alasan, mereka mengemukakan bahwa pengembalian jasad memiliki tiga kemungkinan.
Pertama, manusia terdiri atas badan dan kehidupan, ini sama halnya seperti dikatakan oleh sebagian ulama kalam, sedangkan jiwa berdiri dengan sendirinya dan yang mengatur badan tidak ada wujudnya. Pengertian mati berarti terputus hidup, yakni Tuhan tidak lagi menciptakan hidup, oleh karena itu hidup ini tidak ada, dan badan tidak ada pula. Jadi, arti kebangkitan adalah bahwa Tuhan mengembalikan badan yang sudah tidak ada karena mati kepada wujudnya, dan mengembalikan hidupnya yang sudah tidak ada. Dalam perkataan lain, badan manusia setelah menjadi tanah dikumpulkan dan disusun kembali menurut bentuk manusia dan diberikan hidup kepadanya.
Kedua, atau dikatakan bahwa jiwa (roh) manusia tetap wujud sesudah mati, tetapi badan yang pertama (yang terjadi di dunia ini) nantinya dikembalikan lagi dengan anggota-anggota badannya sendiri dengan lengkap.
Ketiga, atau dikatakan, jiwa manusia dikembalikan kepada badan, baik badan dengan anggota-anggotanya yang semula ataupun badan yang lain samasekali. Jadi, yang dikembalikan ialah manusianya, sebab badannya (bendanya) tidak terpenting, sedangkan manusia disebut karena jiwanya (rohnya), bukan karena bendanya (badannya).[15]
Atas dasar ini, para filosof muslim ini berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad ketika keduanya telah berpisah. Menurut mereka, setelah berpisah antara roh dengan jasad, berarti kehidupan  telah berakhir dan tubuh menjadi hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan membutuhkan pemikiran yang panjang, seperti adanya manusia pincang, manusia buta, dan lainnya. Kalau ini yang terjadi maka di surga nantinya akan ada sidat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Sesungguhnya di surga yang suci tidaklah demikian. Jika demikian terjadilah proses  yang panjang, seperti panjangnya proses kapas hingga menjadi kain.[16]
Menurut al-Ghazali, berdasarkan gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi Muhammad saw., tentang kehidupan di akhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohani saja tetapi pada kehidupan rohani dan jasmani. Jasad dibangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani. Kehidupan di surga dan neraka yang bersifat rohani-jasmani itu, menurut al-Ghazali, bukanlah kehidupan di surga dan neraka bersifat rohaniah saja, menurut al-Ghazali adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat.
Pemahaman demikian, menurutnya bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an dan al-Hadits, karena itu dikufurkannya. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan itu adalah jasmani. Ini terbukti dengan perkataannya :
... adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan seorang Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu pun akan bersifat spritual dan bukannya bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmaniah dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalam pandangan yang mereka nyatakan itu.”
Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah al-Ghazali juga mengatakan; banyak hadits yang mengatakan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atau siksa kubur dan lainnya. Semua ini sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa.
Sedangkan kebangkitan jasmani secara eksplisit telah ditegaskan dalam syara’, yakni berarti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan. Ini dikarenakan tubuh manusia dapat berganti bentuk, seperti dari kecil menjadi besar, kurus menjadi gemuk, dan seterusnya. Namun, hal yang terpenting ada satu tubuh berbentuk jasmani yang dapat merasakan kepedihan dan kebahagiaan. Allah Mahakuasa menciptakan segala sesuatu. dan dengan ke Mahakuasaan-Nya tidak merasa sulit bagi-Nya  menjadikan setetes sperma menjadi aneka macam organ tubuh, seperti tulang, daging, kulit, urat saraf, otot, lemak, dan sebagainya. Dari hasil ini detik berganti menit, menit berganti jam, dan jam berganti hari. Akhirnya menjadi mata, gigi, perasaan yang berbeda antara setiap manusia. Justru itu, Allah jauh lebih mudah mengembalikan rohani pada badan (jasmani) di akhirat ketimbang penciptaan-Nya pertama kali.
Pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof Muslim jika di kaji secara mendalam, maka pertentangan tersebut hanya sebuah perbedaan Interprestasi  karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizhamiyah Baghdad, tentu saja pemikirannya dipengaruhi oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interprestasinya tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengarhui oleh pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.[17]

e.       Pandangan Al-Ghazali terhadap Ilmu
Ilmu merupakan sumber kebutuhan bagi setiap manusia, karena tanpa ilmu manusia akan bodoh dan tidak mengetahui arah hidup dalam prikehidupan. Sebagai seorang ilmuwan besar, al-Ghazali berupaya membuat sebuah karya-karya tulis yang bersifat memotivasi seseorang untuk selalu menggali ilmu pengetahuan, khususnya ilmu agama. Di dalam karya al-Ghazali yang berjudul Ihya Ulum Ad Din yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama. Ini merupakan sebuah karya al-Ghazali yang banyak dipakai oleh para ulama-ulama kalam sebagai bahan kajian untuk amalan-amalan baik manusia. Karena di dalam buku itu banyak menjelaskan tentang ilmu-ilmu keagamaan Islam, ke-Esaan Allah, dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan syari’at.
 Pada karyanya yang lain, dan juga terkenal di tengah masyarakat yang berjudul Al Munqiz min Ad Dhalal al-Ghazali berpendapat bahwa :
Ilmu hati merupakan konsekuensi logis bagi ilmu-ilmu manusia, karena ada dua alam, yakni alam lahir dan alam bathin. Jika ilmu-ilmu (pengetahuan) menguasai ilmu lahir dengan analisa dan keterangan, maka harus ada ilmu khusus untuk menjelaskan ilmu bathin. Pengetahuan-pengetahuan itu sendiri ada dua, yaitu inderawi dan sufi (lahir dan bathin). Sarana untuk mengenal pengetahuan-pengetahuan lahir adalah panca indera, sedang metoda untuk mencapai pengetahuan-pengetahuan bathin harus kembali kepada mereka (kaum sufi) yang mengatakan bahwa kesederhanaan, zuhud, dan amal-amal praktis seluruhnya adalah jalan untuk mempersepsi berbagai realitas yang tersembunyi dan ilham yang melampaui penglihatan dan pendengaran. Maka ma’rifat adalah tujuan yang luhur bagi tasawuf. Al-Ghazali menentang kesatuan antara manusia dengan Tuhan (teori al-Ijtihad) karena bertentangan dengan ajaran agama.”
Di lain karyanya yang berjudul The Juwels of the Qur’an (mutiara al-Qur’an) dan Mizan Al-Amal (timbangan amal), al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu menjadi empat bagian :
1.      Pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis.
2.      Pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli).
3.      Pembagian atas ilmu-ilmu religius (sya’iyyah) dan intelektual (aqliyah).
4.      Pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardhu’in (wajib atas setiap individu) dan fardhu kifayah (wajib atas umat).
Di antara empat hal dari klasifikasi ilmu di atas, yang paling luas di bahas oleh al-Ghazali dalam melakukan pengajaran/diskusi adalah pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu intelektual dan religius. Namun menurut al-Ghazali yang jelas keempat sistem klasifikasi di atas sangat absah, dan mempunyai derajat yang sama.
Pemikiran dari al-Ghazali, maka akan terlihat pendapatnya yang banyak menentang aliran-aliran filsafat. Menurutnya banyak orang-orang yang menyimpang dari ajaran agama saat mempelajari filsafat, karena kebanyakan manusia di saat mempelajari filsafat tanpa sebuah pegangan yang kuat atau dasar yang kuat. Filsafat menurutnya lebih banyak mengedepankan akal daripada dalil untuk mencari sebuah kebenaran. Oleh sebab itu, al-Ghazali banyak dikenal oleh para masyarakat seorang ahli tasawuf, akan tetapi ia tidak melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan tasawuf pantheisme. Sedangkan pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.[18]

C.    Hikmah Filsafat Al-Ghazali
Akibat serangan Al-Ghazali terhadap pemikiran filsafat sebelumnya, meski ‎tidak sepenuhnya tepat dan benar, respon masyarakat muslim terhadap filsafat ‎menjadi berkurang, sehingga menyebabkan kelesuan berfikir dan berijtihad di ‎kalangan umat Islam. Sejak pertengahan abad ke 12 M, hampir semua khazanah ‎intelektual Islam justru selalu menyerang dan memojokkan filsafat, baik sebagai ‎sebuah pendekatan, metodologi maupun disiplin keilmuan.‎
Meski demikian, kajian dan pemikiran filsafat, sesungguhnya tidak benar-‎benar hilang oleh serangan al-Ghazali, filsafat Islam tetap berkembang. Apa yang ‎dianggap sebagai kematian filsafat oleh sebagian orang hanya terjadi di kalangan ‎sunni, khususnya Asy’ariyah. Pada bagian lain di dunia Islam, filsafat justru ‎menemukan arah baru dan semakin membumbung tinggi.
Mengenai serangan al-Ghazali terhadap filsafat, ada beberapa hal yang ‎parlu dicermati, yaitu: ‎
1.      ‎Bahwa al-Ghazali sesungguhnya hanya menyerang persoalan metafisik, khususnya ‎metafisika al-Farabi dan Ibnu Sina yang neo-platonisme, tidak menyerang ‎pemikiran filsafat secara keseluruhan. Sebab, di bagian lain al Ghazali tetap ‎mengakui pentingnya logika atau epistemologi dalam pemahaman dan ‎penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan dalam al-Mustashfa fi ulum al-fiqh, ‎sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi ‎filsafat, yakni burhani untuk melendingkan doktrin dan gagasannya.‎
2.      ‎Bahwa tuduhan al-Ghazali terhadap doktrin al-Farabi dan Ibn Sina adalah ‎tidak tepat. Dalam tulisannya, al-Ghazali menilai bahwa ajaran al-Farabi dan ‎Ibn Sina, juga para filosof lain yang senada, telah jatuh dalam kekufuran, ‎karena mengajarkan tentang keqadiman alam, kebangkitan rohani dan ‎ketidaktahuan Tuhan terhadap hal-hal yang partikular (juziyat). Padahal, kedua ‎tokoh filosof muslim ini sebenarnya tidak menyatakan persis seperti yang ‎dituduhkan. Tentang keqadiman alam misalnya, apa yang dimaksudkan ‎dengan qadim adalah karena alam tidak muncul dalam waktu tertentu. Apa ‎yang disebut sebagai “waktu” atau “zaman” muncul bersamaan dengan alam. ‎Tidak ada istilah waktu atau zaman sebelum munculnya alam. Kebersamaan ‎alam dengan waktu, atau tidak didahuluinya alam oleh waktu tertentu inilah ‎yang dimaksud qadim oleh para filosof, dan keqadiman alam ini tetap tidak ‎sama dengan keqadiman Tuhan, karena Tuhan qadim bi dzatihi, qadim dengan ‎diri-Nya sendiri tanpa berhubungan dengan ruang dan waktu atau yang lain. ‎Dengan kata lain, keqadiman alam hanya berhubungan dengan waktu tetapi ia ‎hadits (temporal) dibanding keqadiman Tuhan. Di sini telah terjadi salah ‎faham atau perbedaan pengertian tentang istilah-istilah yang digunakan antara ‎al-Ghazali dengan para filosof (sebelumnya).‎
3.      Tentang penilaian al-Ghazali pada al-Farabi dan Ibnu Sina dalam kaitannya ‎dengan Aristoteles. Dalam al-Munqid, al-Ghazali membagi filsafat Yunani ‎dalam tiga bagian; materialisme (dahriyun), natrualisme (thabiiyyun) dan ‎theisme (ilahiyyun). Kelompok materialisme adalah mereka yang mengingkari ‎Sang Pencipta (Tuhan) seraya menyatakan bahwa semesta wujud dengan ‎sendirinya. Golongan ini dianggap sebagai tidak beragama. Ini mungkin ‎ditunjukkan pada para filosof Yunani purba. Golongan naturalisme adalah ‎mereka yang meyakini kekuatan material dan bahwa apa yang telah mati tidak ‎akan kembali, sehingga tidak ada hari kebangkitan dan pembalasan. Ini ‎ditujukan pada tokoh seperti Demokritos dan para filosof Ionia yang hanya ‎meyakini eksistensi material. Kelompok theisme adalah para filosof yang lebih ‎modern yang meyakini Sang Pencipta, seperti Socrates, Plato, Aristoteles dan ‎menurut al-Ghazali al-Farabi serta Ibn Sina sebagai pengikutnya.‎ ‎ ‎
4.      Dalam kitab “Tarikh Falasifah Al Islam fil Masyriq wal MaghribMuhammad ‎Luthfi mengemukakan: “Sesungguhnya sebagian ahli filsafat, seperti Ibnu ‎Rusyd tidaklah yakin kalau al-Ghazali serius dalam kritikannya, sesungguhnya ‎perbedaan antara dia dan para filsafat hanyalah pada batas-batas tertentu, ‎sesungguhnya dia mencela mereka dalam ha-hal tertentu hanya untuk ‎memperkuat ahli sunnah”. Musa bin Narbur menyebutkan: Sesungguhnya ‎setelah menulis kitab At Tahafut, al-Ghazali kemudian menulis risalah kecil ‎yang hanya diketahui oleh orang-orang dekat saja, yang berisi penolakan ‎kepada apa yang dikemukakan mengenai kritikan kepada dasar-dasar filsafat‏”.[19]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad ibnu Ahmad al-Ghazali al-Thusi, al-Ghazali lahir pada tahun 450 H/ 1058 M di Ghazal Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam Iran. Ayah al-Ghazali adalah seorang sufi yang gemar mempelajari ilmu tasawuf, bahkan ayah al-Ghazali hanya mau makan dari usaha tangan menenun wol. Al-Ghazali merupakan sosok yang sangat istimewa, al-Ghazali dikenal sebagai seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya, dan pengarang yang produktif. Al-Ghazali diberi gelar kehormatan yaitu Hujjat al-Islam (Argumentasi Islam). Al-Ghazali dalam hidupnya telah menempuh berbagai jalan dan meneliti  berbagai mazhab; dimulai sebagai seorang ahli hukum Islam, berbalik menjadi seorang teologi Muslim, berpindah filosof Muslim, dan berakhir sebagai seorang sufi. Karya-karya al-Ghazali banyak dijadikan disiplin ilmu dan tidak sedikit diahlibahasakan kedalam bahasa Eropa.
Pemikiran tentang filsafat metafisika menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof dinyatakan kafir. Filsafat etika al-Ghazali sendiri adalah teori tasawufnya. Terlihat dari semboyan tasawuf al-Ghazali yang terkenal yaitu “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. Para ilmuwan banyak yang berpendapat bahwa al-Ghazali bukanlah seorang filosof, ini disebabkan karena pendapat al-Ghazali yang menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya dalam buku yang al-Ghazali tulis yang berjudul Tahafut al-Falasifah dalam bukunya itu al-Ghazali secara umum menyerang pendapat-pendapat filsafat Yunani dan Ibnu Sina, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahl al-Bid’ah dan kafir. Pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof Muslim merupakan sebuah perbedaan Interprestasi  karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ari, ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun tentu saja pemikiran al-Ghazali banyak dipengaruhi oleh aliran ini. Sementara itu, pemikiran para filosof Muslim dipengaruhi oleh pemikiran rasional, tentu saja interprestasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Al-Ghazali dikenal oleh para masyarakat sebagai seorang ahli tasawuf, al-Ghazali tidak melibatkan dirinya kedalam aliran tasawuf yang terkenal saat itu, yakni tasawuf inkarnasi dan tasawuf pantheisme melainkan pengetahuan yang dimiliki oleh al-Ghazali berdasarkan atas rasa yang memancar dalam hati, bagaikan sumber air yang bersih/jernih, bukan dari penyelidikan akal, dan tidak pula dari hasil argumen-argumen ilmu kalam.
Al-Ghazali bukanlah seperti yang digambarkan oleh sebagian orang ‎terutama oleh para orientalis barat, dimana mereka memahami al-Ghazali sebagai ‎penyebab kemunduran berfikir bagi umat Islam atau dianggap sebagai pelopor ‎faham skeptis. Kritikan bahkan serangan al-Ghazali terhadap filsafat tidaklah ‎berarti al-Ghazali anti terhadap filsafat, tetapi lebih pada menempatkan filsafat ‎tepat pada posisinya.‎ Kemunduran (matinya) pemikiran filsafat sesungguhnya bukan karena al-Ghazali, sebab kemunduran pemikiran filsafat hanya terjadi di Dunia Islam Timur Sunni karena disebabkan oleh pengaruh ajaran tarikah tasawuf dan mengakarnya aliran al-Asy’ary. Sementara di Dunia Islam Timur, perkembangan pemikiran filsafat tetap berjalan dengan baik karena pengaruh aliran Mu’tazilah.

B.     Saran
Makalah yang memuat pembahasan tentang filsafat al-Ghazali  ini sangatlah jauh dari kesempurnaan, maka saran dan kritik sangat kami harapkan demi perbaikan makalah ini. Kedepannya kami akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan materi ini dengan berbagai sumber referensi yang lebih banyak yang tentunya dapat dimanfaatkan dan dipertanggung jawabkan. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kami pada khususnya, dan pembaca pada umumnya.









DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. 1996. Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Mustofa, A. 1999. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Poerwantana, dkk. 1988. Seluk Beluk Filsafat Islam. Bandung: CV Rosda.
Saputra19. 2011. “Perkembangan Filsafat Pasca Al-Ghazali”. https://saputra19.wordpress.com/2011/07/25/perkembangan-filsafat-pasca-al-ghazali/html. Dikutip pada tanggal 27 Oktober 2017.
Sudarsono. 2004. Filsafat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Supriyadi Dedi, 2009. Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, Bandung: Pustaka Setia.
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam:  Filosof & Filsafatnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.






[1]Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., Filsafat Islam:  Filosof & Filsafatnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 155.
[2]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990), hlm.135.
[3]Ibid
[4]Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., op. cit., hlm. 158.
[5]Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., op. cit., hlm. 159.
[6]Drs. Sudarsono, SH. M.Si, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), Cetakan Kedua,  hlm. 70.
[7]Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: CV Rosda, 1988), hlm. 172.
[8] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., op. cit., hlm. 176.
[9]M. Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 280.
[10]A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),  hlm. 215.
[11]Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., op. cit., hlm. 162.
[12]Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filosof dan Ajarannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm.162.
[13]Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., op. cit., hlm. 167.
[14]Dedi Supriyadi, op. cit., hlm. 171.
[15]A. Mustofa, op. cit., hlm. 237-238.
[16] Dedi Supriyadi, op. cit., hlm. 172.
[17] Dedi Supriyadi, op. cit., hlm. 173.
[18]A. Mustofa, op. cit.., hlm. 237-238.
[19]Saputra19, “Perkembangan Filsafat Pasca Al-Ghazali”, Dikutip dari https://saputra19.wordpress.com/2011/07/25/perkembangan-filsafat-pasca-al-ghazali/html, pada tanggal 27 Oktober 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Makalah Tauhid "MACAM-MACAM TAUHID MELIPUTI ULUHIYYAH, RUBUBIYAH DAN ASMA WA SIFAT"

TUGAS TAUHID MACAM-MACAM TAUHID MELIPUTI ULUHIYYAH, RUBUBIYAH DAN ASMA WA SIFAT Di susun oleh : KELOMPOK                        :...