ALIRAN
JABARIYAH
MAKALAH
Diajukan untuk Menyelesaikan Tugas
Mata Kuliah Ilmu Kalam
Disusun oleh :
Kelompok : III
(Tiga)
Nama Kelompok :
1.
Fahri Haikal (16 0201 0106)
2.
Varsella
Aprillian Amrul (16 0201 0145)
3.
Fadillah (17 0201
0185)
Semester
: III (Tiga)
Dosen : Dr. Hj. Nuryani, M.A.
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALOPO
TAHUN
AJARAN 2017/2018
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt.
atas berkah dan rahmat-Nyalah sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan Makalah
Ilmu Kalam yang berjudul Aliran Jabariyah.
Terselesaikannya
Makalah ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari beberapa pihak, sehingga
pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Guru Ilmu Kalam kami Ustadzah Dr. Hj. Nuryani, M.A., Karena
atas kesempatan yang telah diberikan kepada kami dalam pembuatan dan
penyelesaian makalah ini.
2.
Kedua
Orang Tua kami, yang senantiasa mendukung, menuntun kami dalam hidup ini dengan
doa yang tulus.
3.
Teman-teman
mahasiswa/mahasiswi yang selalu memberi semangat dan motifasi untuk kami dalam
penyelesaian Makalah ini.
Penulisan
Makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, informasi yang masih kurang, sistematika yang masih kurang baik, masih kurangnya
pengetahuan kami tentang Materi. Sehingga pada kesempatan ini kami juga
mengharapkan kritik serta saran dari teman-teman mahasiswa/mahasiswi dan para
pembaca untuk penulisan Makalah yang lebih baik lagi kedepannya.
Semoga
dengan adanya Makalah ini teman-teman mahasiswa/mahasiswi serta pembaca bisa menambah pengetahuan dan
semoga kedepannya kita bisa menyelesaikan penulisan karya-karya tulis lain
dengan lebih baik lagi.
Palopo, 10 Oktober 2017
Penyusun Kelompok 3
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah............................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah..................................................................................... 2
C.
Tujuan Penulisan....................................................................................... 2
BAB II ALIRAN JABARIYAH
A.
Definisi Aliran Jabariyah........................................................................... 3
B. Latar
Belakang Lahirnya Aliran Jabariyah................................................ 4
C.
Ajaran Pokok Aliran Jabariyah.................................................................. 8
D. Pandangan Aliran Jabariyah...................................................................... 10
E.
Dasar Hukum Aliran Jabariyah................................................................. 12
F.
Aliran-Aliran Dalam Jabariyah.................................................................. 13
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan Penulisan............................................................................... 15
B.
Saran - Saran............................................................................................. 16
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................... 17
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Permulaan dari perpecahan umat islam, Bisa dikatakan sejak
wafatnya nabi. Tetapi perpecahan itu menjadi reda karena terpilihnya Abu Bakar
menjadi khalifah. Demikianlah berjalan masa-masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar,
dalam kubu persatuan yang erat dan persaudaraan yang mesrah. Dalam masa ketiga
khalifah itulah dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya dan mengembangkan
islam keseluruh alam. Tetapi setelah islam luas kemana-mana tiba-tiba diakhir
khalifah usman, terjadi suatu cedera yang ditimbulkan oleh tindakan usman yang
kurang disetujui oleh pendapat umum.
Inilah asalnya fitnah yang membuka kesempatan untuk orang-orang yang lapar kedudukan meruntuhkan pemerintahan usman. Semenjak itulah berpangkalnya perpecahan umat islam sehingga menjadi beberapa partai atau golongan dan memunculkan perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut tampak melalui perdebatan dalam masalah kalam yang ahirnya menimbulkan berbagai aliran - aliran dalam Islam.
Inilah asalnya fitnah yang membuka kesempatan untuk orang-orang yang lapar kedudukan meruntuhkan pemerintahan usman. Semenjak itulah berpangkalnya perpecahan umat islam sehingga menjadi beberapa partai atau golongan dan memunculkan perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut tampak melalui perdebatan dalam masalah kalam yang ahirnya menimbulkan berbagai aliran - aliran dalam Islam.
Dalam perdebatan tentang teologi ini, yang diperdebatkan
bukanlah akidah-akidah pokok seperti iman kepada Allah, kepada malaikat dan
lain sebagainya, melainkan perdebatan masalah akidah cabang yang membahas
bagaimana sifat Allah, Al-Qur’an itu baru ataukah qodim, malaikat itu termasuk
golongan jin atau bukan, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu.
Pebedaan tersebut akhirnya menimbulkan berbagai macam aliran diantaranya seperti Khawarij, Syiah, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah dan Qodariyah serta aliran – aliran lainnya.
Pebedaan tersebut akhirnya menimbulkan berbagai macam aliran diantaranya seperti Khawarij, Syiah, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah dan Qodariyah serta aliran – aliran lainnya.
Aliran
Jabariyah sendiri lahir dari pembahasan perbuatan manusia (af’al al-ibad),
dasarnya adalah mengenai apakah manusia itu memiliki kebebaasan melakukan
perbuatannya sendiri menurut kehendaknya, dan perbuatan itu ciptaannya memiliki
dan tidak memiliki ikhtiar apa-apa, karena semuanya telah ditentukan oleh qadha
dan qadhar Tuhan.
Aliran
Jabariyah adalah aliran yang meyakini bahwa semua tingkah laku, daya dan upaya
manusia berasal dari Allah swt., bukan dari manusia itu sendiri karena
manusia tidak mempunyai kemerdekaan, kehendak dan kemampua untuk melakukannya,
manusia bertindak dengan paksaan dari Tuhan. Segala gerak-gerik manusia
ditentukan oleh Tuhan.
Paham Jabariyah ini berpendapat bahwa qada dan qadar Tuhan
yang berlaku bagi segenap alam semesta ini, tidaklah memberi ruang atau peluang
bagi adanya kebebasan manusia untuk berkehendak dan berbuat menurut
kehendaknya. Paham ini menganggap semua takdir itu dari Allah. Oleh karena itu
menurut mereka, seseorang menjadi kafir atau muslim adalah atas kehendak Allah.
B.
Rumusan Masalah
Di
setiap penulisan Makalah tentu memiliki rumusan masalah. Adapun rumusan masalah
dalam penulisan pada Makalah ini adalah
:
1.
Apakah definisi dari aliran jabariyah?
2.
Bagaimanakah latar belakang munculnya
aliran jabariyah
3.
Bagaimanakah ajaran pokok aliran jabariyah?
4.
Bagaimanakah pandamgan aliran jabariyah?
5.
Apa sajakah dasar hukum aliran
jabariyah?
6.
Apa sajakah aliran-aliran
dalam jabariyah?
C.
Tujuan
Penulisan
Disetiap
penulisan Sebuah Makalah tentu memiliki tujuan penulisan, dan pada Makalah
tujuan penulisan yaitu :
1. Sebagai
Syarat dalam menyelesaikan tugas mata kuliah Ilmu Kalam.
2. Memberikan
Informasi kepada teman-teman dan para pembaca tentang aliran jabariyah beserta
dengan ajaran pokok didalamnya.
BAB
II
ALIRAN
JABARIAH
A. Definisi Aliran Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari kata “Jabara”
yang mengandung arti memaksa.[1] Dalam aliran
ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan
terpaksa. Menurut
Al-Syahrastani Jabr adalah sebuah doktrin yang menolak bahwa, dalam realitas,
sebuah perbuatan disebabkan oleh manusia dan menganggapnya dari Allah swt.
Dalam bahasa inggris, jabariyah disebut fatalism atau
predestination yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah
ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadhar tuhan[2]. Artinya, Fatalism adalah kepercayaan bahwa nasib
menguasai segala-galanya, sedangkan predestination
adalah takdir.
Aliran Jabariyah adalah golongan
yang menentang golongan Qadariyah. Yang mula-mula membangun gerakan ini adalah
Ja’ad bin Dirham, kemudian disebarkan oleh Jahm bin Sufyan.
Aliran Jabariyah diduga sudah ada
sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang
diliputi oleh gurun pasir memberikan pengaruh besar ke dalam hidup mereka.
Ketergantungan mereka pada alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan
diri terhadap alam.[3]
Harun Nasution menjelaskan bahwa
dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah
keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka
merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak
tergantung dengan alam, sehingga menyebabkan mereka kepada paham fatalism (“ajaran
atau paham bahwa manusia dikuasai oleh nasib”).
B. Latar
Belakang Lahirnya Aliran Jabariyah
Munculnya paham ini tetap mempunyai kaitan dengan
aliran-aliran Kalam sebelumnya yakni Khawārij dan Murji’ah, sementara itu
muncul dalam sejarah teologi Islam seorang bernama Washil bin ‘Atha’ yang lahir
di Madinah di tahun 700 M dan mendirikan aliran teologi baru yang berbeda
dengan kedua aliran teologi sebelumnya yang dikenal dengan nama Mu’tazilah.
Pada masa inilah umat Islam telah banyak mempunyai kontak dengan
keyakinan-keyakinan dan pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain dan dengan
filsafat Yunani. Sebagai akibat dari kontak ini masuklah ke dalam Islam paham
Qadariyah (free will dan free act) dan paham Jabariyah atau fatalisme.[4]
Paham al-jabar pertama kali
diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham (terbunuh 194 H) yang kemudian disebarkan
oleh Jahm Shafwan (125 H) dari kurasan. Dalam sejarah teologi islam, Jahm
tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan murji’ah.
Ia duduk sebagai sekertaris Suraih bin Al-haris dan menemaninya dalam gerakan
melawan kekuasaan bani Umayah.[5]
Dalam perkembangannya, paham al-jabar
ternyata tidak hanya dibawa oleh dua tokoh diatas. Masih banyak tokoh-tokoh
yang berjasa dalam mengembangkan paham ini, diantaranya adalah Al-Husain bin
Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirar.
Mengenai kemunculan paham al-jabar,
para ahli sejarah pemikiran mengkaji nya melalui pendekatan geokultural bangsa
Arab. Diantara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia mengambarkan kehidupan
bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara yang memberikan pengaruh
besar kedalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka pada alam sahara yang ganas telah
mencuatkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution
menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat arab tidak banyak melihat
jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan nya. Mereka
merasa dirinya lemah dan tidak kuasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup.
Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka
pada sikap fatalisme.[6]
Sebenarnya benih-benih paham al-jabar
sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas, benih-benih itu terlihat dalam
peristiwa sejarah berikut ini:
1.
Suatu ketika
Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir tuhan.
Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar
dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat tuhan tentang takdir.
2.
Khalifah Umar
bin Khattab pernah menagkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika
diintrogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri”.
Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta
kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberi dua jenis hukuman kepada pencuri
itu. Pertama, hukuman potong tangan karna mencuri. Kedua, hukuman dera karena
mengunakan dalil takdir Tuhan.
3.
Khalifah Ali
bin Abi Thalib seusai perang shiffin ditanya oleh seorang tua tentang kadar
(ketentuan) Tuhan dan kaitannya tentang pahala dan siksa. Orang tua itu
bertanya, “apabila perjalanan (menuju perang sifil) itu terjadi dengan qodho
dan qadhar, tidak ada pahal sebagai balasan nya.” Kemudian Ali menjelaskan
bahwa qadha dan qadhar bukanlah paksaan Tuhan. Oleh karena itu, ada pahala dan
siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Ali selanjutnya menjelaskan,
sekiranya qadha dan qadhar merupakan paksaan, batal lah pahala dan siksa, gugur
pula lah makna janji dan anacaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas
pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.[7]
4.
Pada pemerintah
Dawlah Bani Umayyah, pandangan tentang al-jabar semakin mencuat kepermukaan.
Abdullah bin Abbas melalui surat nya memberikan reaksi keras kepada pendudukan
Syriah yang diduga berpaham “Jabariyah”
Mengenai asal
usul serta akar kemunculan aliran Jabariyah ini tidak lepas dari beberapa
faktor. Antara lain:
1. Faktor Politik
1. Faktor Politik
Pendapat Jabariah diterapkan di masa
kerajaan Ummayyah (660-750 M). Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih
dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu
Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah
mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang
licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya
sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha
dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur
manusia yang terlibat di dalamnya. Golongan Jabariyah pertama kali muncul di
Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan Qodariyah, yaitu kira-kira pada
tahun 70 H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, aliran ini juga
disebut Jahmiyah.[8]
Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula
mengatakan bahwa manusia terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun, semua
perbuatan manusia ditentukan Allah semata, tidak ada campur tangan
manusia. Paham Jabariyah dinisbatkan
kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut sebagai kaum
Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama mempelopori
paham jabariyah adalah Al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang yang
pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat
Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah
dengan mata kepala di akhirat). Meskipun kaum Qadariyah dan Jahmiyah sudah
musnah namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah menjadi
pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum
tersebut.
Selanjutnya ditangan Mu'tazilah
paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi'i menyebutnya Wasil,
Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide itulah sebabnya kaum
Mu'tazilah dinamakan juga kaum Qadariyah dan Jahmiyah. Disebut Qadariyah karena
mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap adanya takdir, dan
menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya
intervensi Allah. Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan
mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan
pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di
hari kiamat. Berkaitan dengan hal ini,
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagai pengikut Mu'tazilah adalah Jahmiyah
tetapi tidak semua Jahmiyah adalah Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah berbeda
pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena
terpaksa). Kalau kaum Mu'tazilah menafikanya maka kaum Jahmiyah meyakininya.
2. Faktor
Geografi
Para ahli sejarah pemikiran mengkaji melalui
pendekatan geokultural bangsa Arab. Kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh
gurun pasir sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka.
Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap
penyerahan diri terhadap alam. Situasi demikian, bangsa Arab tidak melihat
jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keingianan mereka
sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup.
Akhirnya, mereka banyak bergantung kepada sikap Fatalisme.[9]
C. Ajaran Pokok
Aliran Jabariyah
Menurut
Al-Syahrastani ada dua kelompok utama aliran Jabariyah, yaitu:
Pertama, Jabariyah
murni yang sama sekali tidak memperkenankan perbuatan apapun kepada manusia,
tak terkecuali kekuasaan untuk berbuat. Kedua, Jabariyah moderat yang
mengakui bahwa manusia memiliki kekuasaan, tetapi mempertahankan bahwa ini
merupakan sebuah kekuasaan yang sama sekali tidak efektif.[10]
Aliran
Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
a. Jabariyah
Ekstrim
Doktrin Jabariyah ekstrim adalah
pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang
timbul dari kemauannya sendiri , tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.[11]
Ajaran pokok Jabariyah ekstrim yang dikemukakan oleh tokohnya:
1)
Jaham bin
Safwan ak-Khurassani
Jaham bin Safwan menjabat sebagai
sekretaris al-Harits ibnu Suraij seorang panglima perang di Khurasan bagian
Timur.[12]
Adapun
doktrin Jaham sebagai berikut:
1. Surga dan
neraka akan fana, tidak ada sesuatupun yang kekal selamanya.
2. Iman adalah
pengenalan (ma’rifat) dan kekufuran adalah ketidak tahuan (al-jahl).
3. Kalam Allah
adalah baru dan bukan qadim. Dari pendapat ini timbul pendapat di
kalangan sebagian ulama yang mengatakan bahwa al-Quran makhluq.
4. Allah bukan
sesuatu, tidak pula bersifat mengetahui dan hidup, ia berkata, “Saya
tidak memberikan sifat terhadap Allah yang sifat itu boleh diletakkan kepada
segala yang baru.”
5. Menafikkan
bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat.
Diantara pendapat Jaham bin Safwan
diatas, dianut juga oleh aliran yang lain yakni paham bahwa al-Quran adalah
makhluk dan menafikkan sifat kalam pada Allah, seperti paham Mu’tazilah.
2)
Ja’ad bin
Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di
Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan orang Kristen yang senang
membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar dilingkungan
pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang
controversial, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian Al-Ja’ad lari ke Kufah dan di
sana ia bertemu dengan Jaham, serta mengajarkan pahamnya kepada Jaham untuk dikembangkan dan
disebarluaskan.
Ajaran dan
pendapat Ja’ad bin Dirham secara umum sama dengan pendapat Jaham bin Safwan
sebagai berikut:
1. Al-Quran
adalah makhluk. Oleh karena itu dia baru, sesuatu yang baru tidak dapat
disifatkan kepada Allah.
2. Allah tidak
mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, mendengar,
melihat, dan sebagainya.
3. Manusia
terpaksa oleh Allah dalam segala perbuatannya.
4. Jabariyah
Moderat
Jabariyah moderat mengatakan bahwa
Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun
perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian didalamnya.
Ajaran Jabariyah
moderat yang dikemukakan tokohnya, yaitu:
a.
Husain bin
Muhammad an-Najjar (wafat 230 H), berpendapat:
1) Tuhan
menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
2) Tuhan tidak
dapat dilihat diakhirat kelak. Akan tetapi, an-Najjar menyatakan bahwa Tuhan
dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata manusia
sehingga manusia dapat melihat Tuhan.[13]
b.
Dhihar bin
Amir
Dhihar
berpendapat bahwa perbuatan manusia tidak hanya merupakan wayang yang
digerakkan dalang, manusia mempunyai bagian dalam melakukan perbuatannya dan
tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatan karena manusia memiliki
andil dalam melakukan dan berbuat.
D.
Pandangan Aliran Jabariyah
Diantara pandangan aliran Jabariyah terhadap Islam adalah :
1. Bahwa manusia tidak mempunyai
kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau
baik semata Allah semata yang menentukannya.
2. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu
apapun sebelum terjadi.
3. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
4. Iman cukup dalam hati saja tanpa
harus dilafadhkan.
5. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat
yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6. Bahwa surga dan neraka tidak kekal,
dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi
hanyalah Allah semata.
7. Bahwa Allah itu sekali-kali tidak
mungkin dapat terlihat oleh manusia,walaupun diakhirat kelak. Tentang surga dan
neraka, kelak sesudah manusia semuanya masuk ke dalamnya,dan sesudah merasakan
pembalasan bagaimana nikmatnya surga dan bagaimana azabnya neraka, maka
lenyaplah surga dan neraka itu.
8. Bahwa Alqur’an adalah makhluk dan
bukan kalamullah.
Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas
dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia
dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab
(usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan terjadi.
Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala
perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada
perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka
tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir.
Jika
mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa
tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah
terjadi.
Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan
terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total
kepada syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan
karena menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka.
Maka mereka menyenanginya dan rela terhadapnya.[14]
Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada
manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha
karena hal itu tidak mengubah takdir. Keyakinan semacam ini telah menyebabkan
mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya
dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa.
Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena
segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak
berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma’ruf dan tidak memperhatikan
penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi.
Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan
kerusakan yang dilakukan oleh perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah
ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah.
Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan
orang-orang sesat itu dengan pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka.
Menjelaskan bahwa keimanan kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan
bahwa manusia mempunyai keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta kemampuannya
untuk melaksanakannya.[15]
E.
Dasar Hukum Aliran Jabariyah
1.
Q.S Ash-Shaffat (37) ayat 96
ª!$#ur
ö/ä3s)n=s{
$tBur
tbqè=yJ÷ès?
ÇÒÏÈ
Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
2.
Q.S Al-Insan (76) ayat 30
$tBur
tbrâä!$t±n@
HwÎ)
br&
uä!$t±o„
ª!$#
4
¨bÎ)
©!$#
tb%x.
$¸JŠÎ=tã
$VJ‹Å3ym
ÇÌÉÈ
Dan kamu tidak
mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana
3.
Q.S Al-Anfal (08) ayat 17
öNn=sù
öNèdqè=çFø)s?
ÆÅ3»s9ur
©!$#
óOßgn=tGs%
4
$tBur
|Mø‹tBu‘
øŒÎ)
|Mø‹tBu‘
ÆÅ3»s9ur
©!$#
4’tGu‘
4
u’Í?ö7ãŠÏ9ur
šúüÏZÏB÷sßJø9$#
çm÷ZÏB
¹äIxt/
$·Z|¡ym
4
žcÎ)
©!$#
ìì‹ÏJy™
ÒOŠÎ=tæ
ÇÊÐÈ
Maka
(yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang
membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi
Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan
untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang
baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
4.
Q.S Al-An’am (06) ayat 111
*
öqs9ur
$oY¯Rr&
!$uZø9¨“tR
ãNÍköŽs9Î)
spx6Í´¯»n=yJø9$#
ÞOßgyJ¯=x.ur
4’tAöqpRùQ$#
$tR÷Ž|³ymur
öNÍköŽn=tã
¨@ä.
&äóÓx«
Wxç6è%
$¨B
(#qçR%x.
(#þqãZÏB÷sã‹Ï9
HwÎ)
br&
uä!$t±o„
ª!$#
£`Å3»s9ur
öNèduŽsYò2r&
tbqè=ygøgs†
ÇÊÊÊÈ
Kalau Sekiranya Kami turunkan Malaikat kepada
mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami
kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka[498], niscaya mereka tidak
(juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka
tidak mengetahui.
[498] Maksudnya untuk menjadi
saksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.
F. Aliran-aliran Dalam Jabariyah
Faham Jabariyah ini terpecah menjadi 3 firqah besar yaitu :
Aliran Jahmiyah, yang dipimpin oleh Jaham bin Safwan, Aliran Najjariyah,
yang dipimpin oleh Husein bin Muhammad an Najjar dan Aliran Dlirariyah,
yang dipimpin oleh Dlirar bin Umar.[16]
1. Aliran Jahmiyah
a) Penggunaan Takwil. Artinya, Allah
tidak dapat disifati dengan sifat-sifat makhluk. Dan karena itu ia menakwilkan
sifat-sifat Allah yang ada persamaannya dengan sifat-sifat manusia. Akibatnya
dia tidak mengakui Alquran sebagai kalam Allah yang qadim, karena yang qadim
itu hanya Allah saja. Jadi Alquran itu makhluk.
b) Surga dan neraka tidak kekal. Akan
datang suatu masa yang padanya surga dan neraka akan fana dengan segala
isinya dan yang tinggal kekal hanya Allah saja. Selain dari Allah, semuanya
akan binasa. Kata khulud (خلود) yang disebut dalam firman Allah (dalam
surat al-Bayyinah/98:6 dan 8) untuk segala isi surga dan neraka ditakwilkan
dengan makna “lama tinggal” (طول المدّة) bukan dengan arti “selama-lamanya” (دوام).
c) Iman. Menurut pendapat Jaham bin
Safwam, iman itu adalah ma’rifah atau pengakuan hati saja akan wujud Allah dan
kerasulan Nabi Muhammad. Ucapan dengan lisan akan dua kalimah syahadat dan
pengamalan dengan anggota badan akan ajaran Islam seperti shalat, puasa, dan
sebagainya bukan daripada iman
d) Ma’rifah iman itu wajib berdasarkan
akal sebelum turunnya wahyu atau kedatangan Rasul. Pendapat ini juga terdapat
kemudian dalam Mazhab Mu’tazilah. Setiap orang yang membela kebenaran Islam
terhadap kepercayaan yang lain dan juga bagi orang yang menakwilkan ayat-ayat Alquran,
maka wajib atasnya berpegang kepada kaidah-kaidah akal.[17]
2. Aliran Najjariyah
a) Tuhan menciptakan segala perbuatan
manusia, tetapi manusia bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan
itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari. Dengan demikian, manusia
dalam pandangan An-Najar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya tergantung
pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai
efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
b) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat.
Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi
hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.[18]
3. Aliran Dhirariyah
a) Manusia tidak hanya merupakan wayang
yang digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya
dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya.
b) Tuhan dapat dilihat di akhirat
melalui indera keenam.
c) Hujjah yang dapat diterima setelah
wafat Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam
menetapkan hukum.[19]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan Penulisan
1. Nama
Jabariyah berasal dari kata “Jabara” yang mengandung arti memaksa. Dalam
aliran ini terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan
terpaksa. Dalam istilah Inggris paham ini disebut fatalism atau predestination.
Fatalism adalah kepercayaan bahwa nasib
menguasai segala-galanya, sedangkan predestination
adalah takdir.
2. Paham al-jabar
pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham (terbunuh 194 H) yang kemudian
disebarkan oleh Jahm Shafwan (125 H) dari kurasan. Dalam sejarah teologi islam,
Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan
murji’ah. Ia duduk sebagai sekertaris Suraih bin Al-haris dan menemaninya dalam
gerakan melawan kekuasaan bani Umayah.
3. Menurut Al-Syahrastani
ada dua kelompok utama aliran Jabariyah, yaitu: Pertama, Jabariyah
murni yang sama sekali tidak memperkenankan perbuatan apapun kepada manusia,
tak terkecuali kekuasaan untuk berbuat. Kedua, Jabariyah moderat yang
mengakui bahwa manusia memiliki kekuasaan, tetapi mempertahankan bahwa ini
merupakan sebuah kekuasaan yang sama sekali tidak efektif.
4. Pandangan Aliran Jabariyah terhadap
Islam adalah : Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun,
setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang
menentukannya, Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi, Ilmu
Allah bersifat Huduts (baru), Iman cukup dalam hati saja tanpa harus
dilafadhkan., Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk
ciptaan-Nya, Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah
bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
5. Dasar hukum aliran jabariyah yaitu
pada: Q.S Ash-Shaffat (37) ayat 96, Q.S Al-Insan (76) ayat 30, Q.S Al-Anfal
(08) ayat 17, Q.S Al-An’am (06) ayat 111.
6. Faham Jabariyah ini terpecah menjadi
3 firqah besar yaitu : Aliran Jahmiyah, yang dipimpin oleh Jaham bin
Safwan, Aliran Najjariyah, yang dipimpin oleh Husein bin Muhammad an
Najjar dan Aliran Dlirariyah, yang dipimpin oleh Dlirar bin Umar.
B. Saran - Saran
1.
Diharapkan kepada teman-teman sejawat
untuk biasa memahami secara mendalam lagi tentang materi yang disampaikan dan
diharapkan untuk mempertanyakan hal-hal yang belum dimengerti tentang filsafat
pendidikan agar kedepannya kita sebagai Mahasiswa/Mahasiswi tidak mendapat
kesulitan yang berhubungan dengan mata kuliah yang sedang berlangsung.
2.
Diharapkan kepada teman-teman
Mahasiswa/Mahasiswi untuk memperhatikan secara khusus pokok materi yang kami
bahas karena materi ini merupakan salah satu pokok penting dalam mata kuliah
ilmu kalam khususnya dalam materi aliran jabariyah.
3.
Diharapkan kepada pihak kampus
khususnya pihak perpustakaan untuk lebih banyak lagi menyediakan bahan-bahan
referensi khususnya buku-buku terbaru yang berhubungan dengan ilmu kalam sebab
buku-buku referensi ilmu kalam yang terdapat di dalam perpustaan masih kurang
banyak untuk menjadi referensi dalam pembuatan makalah sebab buku-buku yang
menjadi sumber referensi kebanyakan terbit ditahun 1000-an.
DAFTAR PUSTAKA
Aziz
Dahlan.1987. Sejarah Perkemabangan Pemikiran Dalam Islam. Jakarta : Beunebi Cipta.
Duskiman
Sa’ad. 2001. Aliran dalam Islam:
Perbedaan Pemahaman terhadap Kajian Teologi Islam. Padang: IAIN-IB Press.
Elza Ramona, “Aliran Jabariyah”,
Dikutip dari http://elzaramona.blogspot.co.id/2015/12/aliran-jabariyah.html,
pada tanggal 9 Oktober 2017 pukul 07.50.
Harun
Nasition. 1986. Teologi Islam:
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan Cetakan V. Jakarta : UIPress,
1986.
Manor Arjunes, “Makalah Ilmu Kalam : Aliran
Jabariyah”, Dikutip dari http://manorarjunes.blogspot.co.id/2016/11/makalah-ilmu-kalam-aliran-jabariyah.html,
pada tanggal 9 Oktober 2017 pukul 09.20.
Mulyono dan Bashori. 2010. Studi
Ilmu Tuhid/Kalam, Malang : UIN-MALIKI Press.
Musthofa ddk. 2005. Tauhid. Yogyakarta:
Pokja Akademik.
Nok
Aenul Latifah Kholisoh. 2013. Paham Ilmu
Kalam 1 untuk Kelas XI Madarasah Aliyah Program Keagamaan. Solo: Tiga Serangakai
Pustaka Mandiri.
NugrahAnggini, “Aliran Jabariyah Dalam Ilmu Kalam”,
Dikutip dari http://nugrahanggini.esy.es/?p=543,
pada tanggal 9 Oktober 2017 pukul 14.20.
Rosihon
Anwar dan Abdul Rozak. 2007. Ilmu Kalam.
Bandung: CV Pustaka Setia.
Sukoyo, Zainal Abas, Asyhabudin.
1999. Studi Islam Klasik: Wacana Kritik Sejarah Terjemahan. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya.
Vio Fani, “Aliran Murjiahjabariah
dan Qadariyah”, Dikutip dari http://vio-fani.blogspot.com/2011/03/aliran-murjiahjabariyah-dan-qadariyah.html, pada
tanggal 10 Oktober pukul 15.00
Yuchenky Salahuddin, “Paham Aliran Jabariah”,
Dikutip dari https://youchenkymayeli.blogspot.co.id/2012/10/aliran-jabariyah.html,
pada tanggal 9 Oktober 2017 pukul 09.00.
[1]Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu
Tuhid/Kalam, (Malang : UIN-MALIKI
Press, 2010) hlm. 139.
[2]Harun
Nasition, Teologi Islam: Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan Cetakan V, (Jakarta : UIPress, 1986) hlm. 31.
[3]Nok
Aenul Latifah Kholisoh, Paham Ilmu Kalam
1 untuk Kelas XI Madarasah Aliyah Program Keagamaan (Solo: Tiga Serangakai
Pustaka Mandiri, 2013) hlm. 91.
[4]Yuchenky
Salahuddin, “Paham Aliran Jabariah”, Dikutip dari https://youchenkymayeli.blogspot.co.id/2012/10/aliran-jabariyah.html,
pada tanggal 9 Oktober 2017 pukul 09.00.
[5]Harun
Nasution, Loc. Cit, hlm.
33.
[6]Aziz
Dahlan, Sejarah Perkemabangan Pemikiran
Dalam Islam, (Jakarta
: Beunebi
Cipta, 1987) hlm.
27-29.
[7]Ibid,
hlm. 28.
[8]Manor
Arjunes, “Makalah Ilmu Kalam : Aliran Jabariyah”, Dikutip dari http://manorarjunes.blogspot.co.id/2016/11/makalah-ilmu-kalam-aliran-jabariyah.html,
pada tanggal 9 Oktober 2017 pukul 09.20.
[9]Manor
Arjunes, “Makalah Ilmu Kalam : Aliran Jabariyah”, Dikutip dari http://manorarjunes.blogspot.co.id/2016/11/makalah-ilmu-kalam-aliran-jabariyah.html,
pada tanggal 9 Oktober 2017 pukul 09.20.
[10]Elza Ramona,
“Aliran Jabariyah”, Dikutip dari http://elzaramona.blogspot.co.id/2015/12/aliran-jabariyah.html,
pada tanggal 9 Oktober 2017 pukul 07.50.
[11]Musthofa ddk, Tauhid,
(Yogyakarta: Pokja Akademik, 2005), hlm. 88.
[12]Sukoyo, Zainal Abas, Asyhabudin, Studi
Islam Klasik: Wacana Kritik Sejarah Terjemahan, (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1999), hlm. 194.
[13]Musthofa ddk, Loc. Cit, hlm. 88.
[14]NugrahAnggini,
“Aliran Jabariyah Dalam Ilmu Kalam”, Dikutip dari http://nugrahanggini.esy.es/?p=543,
pada tanggal 9 Oktober 2017 pukul 14.20.
[15]NugrahAnggini,
“Aliran Jabariyah Dalam Ilmu Kalam”, Dikutip dari http://nugrahanggini.esy.es/?p=543,
pada tanggal 9 Oktober 2017 pukul 14.20
[16]Rosihon
Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 160
[17]Duskiman
Sa’ad, Aliran dalam Islam: Perbedaan
Pemahaman terhadap Kajian Teologi Islam, (Padang: IAIN-IB Press, 2001), hlm.
42
[18] Ibid, hlm.
42
[19]Vio Fani, “Aliran Murjiahjabariah
dan Qadariyah”, Dikutip dari http://vio-fani.blogspot.com/2011/03/aliran-murjiahjabariyah-dan-qadariyah.html,
pada tanggal 10 Oktober pukul 15.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar